Monday, July 18, 2005

Kedaulatan Pangan dan Kemiskinan

Munculnya wilayah rawan pangan, beragam peristiwa kelaparan di berbagai daerah, menempatkan masyarakat dalam jerat kemiskinan akut. Data Pusat Statistika (BPS) 2004 mencatat angka kemiskinan mencapai 36,1 juta dari 217 juta penduduk Indonesia. Jumlah yang terpapar tersebut tidak dapat dikatakan sedikit (kurang lebih 16 persen), dan sudah mencapai titik rawan yang membutuhkan kesigapan berbagai pihak untuk melakukan tindakan cepat dan terpadu. Ukuran garis kemiskinan Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk makanan setara 2.100 kilo kalori per orang/hari dan untuk memenuhi kebutuhan nonmakanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang/jasa lainnya. Mereka yang pengeluarannya lebih rendah dari garis kemiskinan disebut sebagai penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan atau penduduk miskin (UNDP).
Dari 51 bayi berusia di bawah lima tahun yang mengalami gizi buruk selama Januari-Mei 2005 di NTB, delapan di antaranya meninggal dunia (kompas, 26 Mei 2005). Ironisnya, NTB merupakan satu satu daerah yang cukup baik hasil pertaniannya dalam arti surplus beras. Kasus rawan pangan disertai gizi buruk telah merambah ke provinsi NTT, Sumbar, dan Lampung. Dan kejadian di NTT sendiri bukan pertama kali, tercatat tahun 1966, sebanyak 20.000 jiwa terserang penyakit busung lapar, 8.317 orang di antaranya meninggal. Artinya, setelah lebih dari seperempat abad kita mengalami pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, menurut data BPS (6,35 persen – pertumbuhan tertinggi pasca krisis ekonomi 1997), justru malah setback ke 5 dasawarsa silam.
Di tingkat internasional, concern dunia terhadap masalah keamanan pangan (food security) ini diprakarsai oleh FAO, dengan mengadakan World Food Summit lima tahun sekali untuk mencari jalan pemecahan masalah kemiskinan dunia. Salah satu komitmen politik FAO adalah menegaskan pentingnya pembangunan pertanian dan pedesaan dalam mengikis kelaparan dan kemiskinan. Pembangunan pertanian dan pedesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan ketahanan pangan, karena mayoritas penduduk miskin dunia hidup di pedesaan dan mengandalkan sumber penghidupannya dari sektor pertanian. Oleh sebab itu, upaya pencapaian sasaran mengatasi kelaparan dan kemiskinan harus melandaskan pada upaya peningkatan produktivitas pertanian, perbaikan produksi, dan distribusi pangan. Berdasarkan data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari penduduk di Indonesia masih berada dibawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kecukupan kalori, disamping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan. (Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Bappenas)

Industrialisasi Membelenggu
Industrialisasi sudah menjadi jargon untuk meningkatkan kesejahteraan melalui percepatan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, strategi yang dilakukan pemerintah adalah mengundang para investor untuk menanamkan modal. Namun, justru sektor yang banyak dipromosikan adalah infrastruktur dan manufaktur. Padahal kedua sektor tersebut relatif tidak berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan, dan pengurangan kemiskinan (poverty eradication) secara signifikan. Justru yang terjadi kemudian adalah gap dari masyarakat lokal atas kehadiran industri-industri tersebut. Disatu sisi karena kebutuhan pemenuhan tingkat profesionalitas dibutuhkan lulusan-lulusan sarjana untuk mengisi tenaga kerja. Disatu sisi penduduk lokal tidak ada yang memenuhi kualifikasi yang disyaratkan. Yang kemudian terjadi, setelah tanah pertanian mereka dijual ke para investor untuk industri maka mereka menjadi buruh tani. Ujung dari kisah ini adalah menjalin rantai kemiskinan yang semakin panjang. Menyertai terjadinya transformasi struktural di sektor pertanian adalah konversi lahan dari penggunaan pertanian ke non pertanian. Di Jawa pada 1984-1988, rata-rata 36.000 hektar lahan sawah telah dikonversikan ke penggunaan permukiman dan industri. Jadi sangat naïf apabila mengaitkan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan meratanya tingkat kesejahteraan. Besar kemungkinan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut hanya didorong oleh konsumsi, dan kalau pun tidak hanya dinikmati oleh minoritas yang dalam lingkar ekonomi dan kekuasaan dan tidak menyentuh sektor-sektor marjinal yang digeluti oleh rakyat. Sehingga yang terjadi kemudian adalah kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi. Jangan heran bilamana ada orang yang berpenghasilan ratusan juta rupiah, namun di pihak lain ada penduduk yang tidak mampu makan dalam sehari.

Ekonomi Pertanian
Masalah kemiskinan di Indonesia bukan hanya jumlahnya yang besar tetapi juga disparitas yang tinggi antar wilayah, provinsi, ataupun kabupaten dan kota, dan kemiskinan transiden yang serius, yaitu sejumlah besar penduduk akan tergolong miskin bila terjadi sesuatu perubahan keadaan/kebijakan. Di kalangan LSM sendiri sebenarnya ada upaya-upaya untuk melakukan terobosan dan gagasan penolakan terhadap komersialisasi pangan. Karena hal ini berdampak pada keamanan pangan dan kerentanan pangan domestik. Sudah selayaknya sekarang diupayakan satu strategi secara menyeluruh untuk membangun industri dengan berbasis pertanian, dalam rangka ketahanan pangan sekaligus upaya untuk menjaga kedaulatan pangan (food sovereignity).
Kita patut puji dan dengan besar hati harus opmitis dengan gagasan pemerintah untuk melakukan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) untuk jangka waktu 5 tahun ke depan. RPPK merupakan program menyeluruh untuk memberdayakan kehidupan perekonomian petani dan masyarakat pedesaan, yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan pertumbuhan pertanian rata-rata sebesar 3,5% per tahun. Ini merupakan satu langkah terobosan untuk memperhatikan sektor yang selama ini dipandang sebelah mata. Padahal sektor-sektor tersebut merupakan penopang kehidupan rakyat banyak dan menjadi mata pencaharian mayoritas penduduk. Namun hingga sekarang tidak ada kebijakan menyeluruh untuk meningkatkan kesejahteraan para pelaku didalamnya. Petani, dan nelayan tidak pernah hampir tersentuh program pemerintah. Kalaupun tersentuh itu hanya menguntungkan di level tengah yang banyak dikuasai oleh broker/ perantara, sedangkan petani dan nelayannya sendiri jauh dari hidup sejahtera.
Diperlukan dukungan dari seluruh pihak sehingga program pemerintah ini bukan sekedar lip service. Gagasan yang cukup brilian adalah mengalokasikan 15 juta lahan pertanian abadi. Bilamana hal ini terealisasi maka kita sudah tidak perlu mengimpor beras lagi. Dan dalam jangka panjang, kedaulatan pangan (food sovereignity) kita juga terjamin karena tidak ada ketergantungan dengan bangsa lain seperti selama ini terjadi. Apalagi didukung oleh program pertanian organik yang gagas oleh Departemen Pertanian, akan makin mengokohkan posisi Indonesia untuk mengatasi persoalan pangan. Demikian juga dengan sektor perikanan. Permintaan yang besar terhadap produk perikanan harus dimanfaatkan secara optimal terutama untuk memenuhi pasar domestik. Selain itu menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah (value added) dari sektor ini. Di sektor kehutanan, walaupun disertai dengan pesimisme, patut diuji kebijakan pemerintah untuk menjamin adanya kepemilikan hutan rakyat yang dikelola secara adat. Pembalakan hutan yang merajalela sekarang ini telah mengikis tanah adat dan kerusakan lingkungan yang parah dapat direduksi bertahap secara siginifikan.

Wawan Fahrudin, Peneliti Institute for Global Justice

1 Comments:

At 9:34 AM , Anonymous slut wifes lovers free fuck stories said...

Angela is not dumb. I was crazed withlust and squirming around so much that I almost fell of the bed.
erotic sex stories with pic
gay demon sex stories
children animal sex stories
short sensual sexy stories
xxx sexie stories
Angela is not dumb. I was crazed withlust and squirming around so much that I almost fell of the bed.

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home