Monday, July 18, 2005

Perancis Tolak Konstitusi UE Pelajaran Buat ASEAN

Rakyat Perancis menghadapi momentum bersejarah Minggu (29/5 2005) ketika memberikan suara dalam referendum mengenai konstitusi pertama Uni Eropa. Konstitusi Eropa sendiri merupakan pakta yang dirancang untuk menarik beberapa negara di Eropa untuk bersatu dalam satu blok kawasan. Hampir 42 juta rakyat Perancis berpartisipasi dalam referendum tersebut. Eksistensi Uni Eropa menjadi terancam karena publik Perancis menolak referendum konstitusi Uni Eropa, setelah 54,87 persen rakyat Perancis menolak, dibanding dengan 45,13 persen menyetujui. Penolakan di Perancis tersebut membuka suatu periode ketidakpastian politik mendalam di Uni Eropa, karena konstitusi tersebut perlu diratifikasi oleh 25 negara anggotanya.

Konstitusi Eropa ditandatangani oleh 25 negara Eropa pada bulan Oktober 2004 di Roma. Konstitusi ini dimaksudkan untuk memudahkan pengambilan keputusan di Uni Eropa. Untuk mengimplementasikannya, konstitusi Uni Eropa wajib diratifikasi oleh seluruh anggota UE. Sejauh ini baru beberapa negara yang telah meratifikasi, di antaranya Italia, Lituania, Slovenia, Hongaria, dan Spanyol yang masih menunggu pengesahan parlemen. Sedangkan parlemen Yunani Jumat (27/5 05) melakukan pemungutan suara. Sebelum ditetapkan menjadi Undang-Undang, diadakan referendum di tiap-tiap negara Eropa, dan hasilnya mengikat sebelum diratifikasi oleh 25 negara Uni Eropa.

Persoalan yang berpusar pada intergasi Eropa ini memang masih belum mampu menyatukan antara suara elit dan aspirasi dari masyarakat (grass root). Di level government kecenderungan elit politik menginginkan integrasi Eropa secara utuh yang tidak hanya dalam satu Common Market (Pasar Bersama), namun lebih mendalam lagi hingga integrasi politik dan ekonomi. Namun resistensi domestik antara publik dengan elit politik, seperti tercermin dari referendum Perancis tidak terhindarkan. Dari intern (politik domestik) rakyat Perancis mengalami ketakutan bahwa ideologi pasar bebas di Uni Eropa akan menyebabkan tingkat pengangguran semakin meningkat, - sekarang ini pengangguran di Perancis mencapai 10 persen -. Pasar bebas hanya mengadopsi kepentingan bisnis dengan mengabaikan kepentingan publik. Inggris dan Polandia, misalnya, lebih condong pada ekonomi yang lebih liberal, sedangkan kubu Jerman-Perancis menginginkan sistem ekonomi yang terintegrasi dan lebih mementingkan konsep jaminan sosial. Dampak lain dari hasil referendum Perancis adalah semakin tertutupnya kemungkinan perluasan kembali Uni Eropa, khususnya menyangkut keanggotaan Turki yang berpenduduk mayoritas Muslim. Apalagi salah satu alasan keberatan kubu "tidak" di Belanda dan Perancis adalah karena Konstitusi UE membuka jalan bagi bergabungnya Turki. Perkembangan ini juga akan kembali menunda perundingan mengenai kemungkinan masuknya Norwegia di Uni Eropa. Norwegia telah melakukan dua kali referendum (tahun 1972 dan 1994) dan keduanya menghasilkan penolakan.
Proses demokrasi yang sangat dijunjung tinggi di Eropa, dan masyarakat Barat pada umumnya telah membuktikan bahwa tidak selalu kepentingan dari elit politik akan sama dengan aspirasi di tingkat bawah. Banyak kalangan menilai bahwa konstitusi Uni Eropa ini akan menghancurkan tatanan sosial di Perancis dan menghadirkan kompetisi yang tak terkendali antar anggota Uni Eropa. Rakyat Perancis apatis terhadap perkembangan Uni Eropa yang makin mengarah ke pasar bebas, yang mementingkan kepentingan bisnis daripada mengakomodir kepentingan sosial masyarakat Eropa.

Pengalaman Eropa ini patut menjadi perhatian masyarakat Asia, dalam kerangka kerjasama ekonomi kawasan. ASEAN yang merupakan payung kerjasama ekonomi kawasan sekarang ini masih menyimpan berbagai persoalan mendasar. Misalnya saja persoalan perbatasan, terorisme dan kejahatan lintas batas, serta HAM, serta belum tuntasnya perlu tidaknya diadakan peremajaan terhadap prinsip non-intervensionis, yang disatu pihak dipandang menjaga eksistensi ASEAN, namun dilain pihak membuat ASEAN tidak mampu berbuat banyak untuk mengantisipasi dinamika kawasan. Di tingkat internasional sendiri, terjadi perdebatan untuk mengarahkan ASEAN tidak menjadi blok perdagangan seperti Uni Eropa. Hal ini disebabkan karena Uni Eropa sudah mengarah pada blok perdagangan yang eksklusif dan hanya memberikan preferensi kepada anggotanya, dan memberikan restriksi bagi non anggota.
Secara paradigmatik, arah yang ingin dituju oleh ASEAN sekarang ini mengarah pada Uni Eropa sebagai satu model blok ekonomi yang bertumpu pada penguatan kawasan dengan mempromosikan liberalisasi. Oleh karena itu, kerjasama-kerjasama yang sifatnya ekonomi regional mendapat porsi besar, baik intern kawasan maupun dengan ekstern kawasan. Ditilik dari segi ekonomi, ideologi pasar bebas juga sangat kuat di ASEAN. Kecenderungan di tingkat regional ini searah dengan “angin” di tingkat internasional. Pasca gagalnya 2 kali perundingan WTO, di Seattle, dan Cancun, telah mengubah konstelasi perdagangan internasional. Salah satunya adalah meningkatnya Bilateral Free Trade Agreement (BFTA) baik, antara satu negara dengan negara lain, kawasan dengan satu kawasan lain, maupun satu kawasan dengan satu negara lain. Misalnya saja, yang sudah diratifikasi adalah BFTA ASEAN-China, dan yang masih dalam tahap penjajakan dengan Korea Selatan, Jepang, dan India.

Memetik pelajaran dari Uni Eropa bahwa pendapat publik dalam bentuk referendum (jajak pendapat) sangat penting sekali untuk mengetahui aspirasi yang berkembang. Namun hingga sekarang ini, tradisi untuk melibatkan publik dalam pengambilan keputusan rasanya masih jauh dari ideal. Seringkali persoalan yang berkaitan dengan ASEAN, entah itu AFTA misalnya, tidak ada prakondisi untuk menjaring aspirasi dari publik. Padahal suara publik ini sangat penting sekali. Masih lekat dalam paradigma elit politik ASEAN bahwa persoalan di level policy baik nasional maupun regional merupakan persoalan elit. Sehingga kerapkali hasil-hasil yang dicetuskan tidak searah dengan aspirasi rakyat secara keseluruhan.

Secara ideal konsep regionalisme seharusnya berasal dari bawah, bottom up. Namun selama ini terbalik, banyak sekali policy yang sifatnya up to down, termasuk misalnya kerangka-kerangka perjanjian baik di level regional yang dilakukan ASEAN, maupun Indonesia sebagai salah satu anggotanya. Belum lagi persoalan sosialisasi kebijakan yang sangat minim. Publik cenderung pasrah saja, dan hanya tahu setelah dampak-dampak terjadi. Misalnya saja, dari membanjirnya produk-produk dari China, misalnya. Pada akhirnya yang dirugikan kembali adalah rakyat, terutama bagi sektor-sektor yang masih marjinal. Akibat lebih lanjut dari ekslusivitas pengambilan kebijakan di level domestik tidak terbentuk strategi pengembangan industri yang memihak pada rakyat. Terlepas dari hiruk pikuk nasib Uni Eropa ke depan, pasca hasil referendum Perancis, bagi Indonesia, dan ASEAN pada umumnya menjadi satu bentuk pembelajaran untuk mengikutsertakan suara publik dalam setiap penyusunan kebijakan.

Wawan Fahrudin
Peneliti Institute for Global Justice

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home