Monday, July 18, 2005

“KPU Gate” Bukan Pembiaran Masyarakat

Korupsi menjadi tema pembicaraan sentral sekarang ini, sejak merebaknya kasus “KPU Gate” yaitu skandal penyuapan dan indikasi korupsi berjemaah yang dilakukan oleh KPU yang menyeret berbagai pihak, termasuk lintas institusi negara seperti Departemen Keuangan, anggota DPR, dan BPK sendiri. Bahkan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid meminta KPK untuk membeberkan nama-nama anggota DPR yang terlibat. Berita terbaru kemajuan kasus skandal korupsi KPU adalah ditahannya ketua KPU, Nazaruddin Sjamsudin menyusul Mulyana W. Kusuma yang sudah ditahan beberapa waktu lalu.
Publik sekarang ini tercurah perhatiannya semua ke persoalan pemberantasan korupsi. Tidak kurang pemerintah nampaknya juga bersungguh-sungguh untuk memberantas “parasit para pejabat” dengan membentuk berbagai komisi, termasuk yang terbaru Tim Pemberantasan Korupsi yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Masyarakat boleh merasa berbesar hati bahwa kasus ini tidak hanya menjadi komoditas politik tanpa ada penyelesaian hukum secara tuntas.

Perdebatan demi perdebatan, serangkaian diskusi, curah pendapat yang menghadirkan para pakar dan masyarakat yang sudah muak dengan perilaku para koruptor marak diselenggarakan. Media juga tidak kalah gencar menampilkan berita korupsi menjadi headline selama hampir sebulan penuh. Kembali argumentasi yang berkembang dalam menelaah persoalaan korupsi adalah berpusat pada spektrum bahwa korupsi merupakan budaya (culture) atau istilah HS Dillon way of life, di lain pihak memandang bahwa korupsi hanya sekedar perilaku sejumlah orang yang pada akhirnya mencerminkan dan berurat akar menjadi satu ”tradisi” atau masih penyimpangan norma yang berlaku umum dan bukan kesalahan sistemik (fact of life).
Dillon memandang bahwa korupsi merupakan tindakan individu secara personal bekerjasama dengan personal lain, dan budaya hanya dijadikan kambing hitam atau tameng perilaku korupsi. Artinya, sudah terjadi penyimpangan norma dalam masyarakat kita, sehingga stigma korupsi yang sudah berurat akar seolah menjadi satu ”tradisi” turun menurun. Oleh karena itu, cara efektif memberantas korupsi menurutnya, adalah mengurangi insentif dan kesempatan untuk perilaku korupsi serta meningkatkan insentif dan kesempatan bagi perilaku nonkoruptif. Pendapat senada juga telah diungkapkan Prof. Lepi Tarmidi yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan profesionalitas pejabat dan pegawai negeri dan mengurangi tingkat korupsi tidak lain adalah dengan meningkatkan kesejahteraan para pegawai tersebut.

Saya sependapat sekali bahwa bangsa Indonesia yang berbudi luhur ini tidak memiliki akar tradisi korupsi. Namun bukan berarti tidak pernah terjadi preseden historis dalam perjalanan pembentukan negara bangsa (nation state) Indonesia. Kita tahu semua bahwa VOC (Verenigde Ostindiest Compagnie), cikal bakal kolonialisme Belanda selama lebih dari 3 abad, mengalami kebangkrutan salah satu akar penyebab internalnya adalah korupsi yang dilakukan para pegawainya. Secara tidak langsung karena pada waktu ini VOC bertindak ”seolah” negara (state) yang memiliki kemampuan ekonomi dan alat pemaksa (tentara), telah memberikan satu bentuk adanya ”pengajaran” bahwa ada cara untuk mempercepat memperkaya diri yaitu melalui korupsi.

Struktur yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda, juga makin dikuatkan dengan tradisi kerajaan yang masih kental dalam darah daging bangsa Indonesia. Tradisi kerajaan melahirkan budaya patron klien yang membentuk saling keterikatan antara kawula (rakyat) dengan gusti (pemerintah). Pada perjalanannya, struktur dan kultur kekuasaan yang terbentuk di Indonesia sejak kemerdekaan hingga sebelum reformasi adalah pemerintah otoriter yang mengharamkan adanya kontrol publik terhadap penguasa.

Reformasi memang telah mengubah skema bentuk kekuasaan dari otoriter menjadi demokrasi. Namun yang terlupakan adalah adanya moral penguasa masih belum berubah secara penuh. Prinsip-prinsip demokrasi yang meletakkan dasar adanya supremasi sipil dan kuatnya kontrol publik belum tuntas. Dalam paradigma demokrasi, yang meletakkan penguasa hanya sebagai representasi publik yang memiliki tanggung jawab moral dan politik tidak berjalan secara mulus karena kultur penguasa otoriter yang masih melekat. Salah satu ciri yang paling kentara adalah tidak adanya kontrol kendali publik atas jalannya satu penyelenggaraan negara. Memang tidak seluruhnya kontrol tersebut tidak berjalan, sebut saja misalnya media dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sedikit mengisi kekosongan kontrol publik atas kekuasaan. Di sisi lain, tidak terbentuk satu kesadaran pribadi dan kelembagaan terhadap prinsip akuntalibitas atas jabatan yang diamanahkan kepada para pejabat tersebut.

Kemudian menjadi ganjil menurut saya dengan argumentasi bahwa akar dari korupsi adalah perilaku ”pembiaran” oleh masyarakat terhadap para koruptor, seakan-akan korupsi adalah hal yang wajar dan biasa (Korupsi Hadang Kebangkitan Bangsa, Kompas, 21/5 2005). Persoalan korupsi merupakan persoalan yang kompleks, dan menjadi satu klise bahwa kajian dan penuntasannya bersifat lintas disiplin dan lembaga. Terlepas dari itu semua, menandaskan bahwa telah terjadi ”pembiaran” masyarakat atas kejahatan para koruptor terlalu menyederhanakan masalah.

Dosa para koruptor tidak bisa dibebankan kepada masyarakat sehingga melahirkan perspektif telah terjadi pembiaran oleh masyarakat. Sehari-hari masyarakat sudah disibukkan dengan persoalan pemenuhan kebutuhan yang makin lama makin sulit, apalagi pasca kenaikan harga BBM! Yang terjadi kemudian adalah bukan persoalan pembiaran perilaku korupsi oleh lingkungan/ masyarakat namun korupsi telah dianggap sebagai sebuah kewajaran atau bahkan anggapan bahwa tidak ada keterkaitannya antara persoalan korupsi dengan ”periuk nasi rakyat”. Korupsi adalah persoalan elit (pejabat) yang tidak mampu dipahami oleh masyarakat, sehingga tidak terjadi kesadaran kolektif untuk mempertautkan antara kasus korupsi dengan persoalan hajat hidup rakyat sehari-hari. Sehingga dengan premis berbeda memang telah terjadi pembiaran, namun sekali lagi itu bukan atas ketakutan atau keseganan masyarakat seperti diungkapkan Dillon, justru karena ketidaktahuan dan tidak adanya kesadaran di level masyarakat bahwa persoalan korupsi merupakan penyakit bangsa dan negara yang terjangkit di lingkungan para pejabat, namun akibatnya adalah sangat luas, termasuk dari terabaikannya masalah pendidikan, akses kesehatan murah yang seharusnya dapat diperoleh masyarakat. Oleh karena itu, pembelajaran dan pembentukan kesadaran kolektif dari masyarakat terhadap bahayanya penyakit korupsi ini harus ditanamkan sejak dini dan disosialisasikan secara intentif. Bilamana perlu, kajian korupsi menjadi bentuk kurikulum yang diajarkan dari mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan moral anti korupsi yang ditanamkan lewat jalur pendidikan akan efektif untuk ”memotong” generasi sekarang ini yang sudah penuh dengan dosa korupsi yang akan tumbuh tunas-tunas bangsa yang akan menghidupkan yang akan membawa Indonesia pada masa pencerahan.


Wawan Fahrudin
Peneliti di Institute for Global Justice
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan sikap lembaga dimana penulis bekerja

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home