Monday, July 18, 2005

Menimbang Economic Pathnership Agreement Indonesia – Jepang

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi, Kamis (2/6 2005), menandatangani nota kesepahaman tentang keinginan kedua negara membentuk kemitraan ekonomi yang komprehensif dalam persetujuan kerja sama ekonomi (economic partnership agreement/EPA). Dengan kesepakatan itu, kedua negara akan mengarahkan berbagai kebijakan untuk mengusahakan liberalisasi ekonomi, termasuk perdagangan bebas barang dan jasa (kompas, 3 Juni 2005). Kerja sama ekonomi yang menurut hasil studi tim Indonesia-Jepang akan menguntungkan kedua negara bersahabat tersebut akan membuka arus perdagangan barang dan jasa, tenaga kerja, serta aliran modal lebih deras (Bisnis Indonesia, 3 Juni 2005). Bentuk kesepakatan antara kedua kepala negara adalah ditandanganinya MoU yang disebut Strategic Investment Action Plans yang akan mempercepat pembentukan EPA. Sudah sejak awal publik sadar bahwa kekuatan liberalisasi pasar akan makin mengikat Indonesia erat, terutama tatkala SBY terpilih menjadi presiden.

Bilateral FTA dan mekanisme Multilateral

Bilateral free trade yang menjadi tren sekarang ini terjadi bukan tanpa sebab. Kegagalan perundingan WTO di Seattle tahun 2001 dan Cancun tahun 2003 menjadi pemicu merebaknya bilateral free trade. Hal ini disebabkan karena mekanisme bilateral free trade lebih mudah karena hanya melibatkan dua belah pihak. Oleh karena itu, bilateral free trade menjadi pilihan strategis bagi negara maju untuk memajukan berbagai usulan yang mandek di tingkat multilateral. Wajar saja bilamana terjadi resistensi dan pesimisme di kalangan domestik bahwa berbagai bilateral free trade tersebut makin merapatkan Indonesia ke pasar internasional dan pada akhirnya akan mengancam eksistensi industri domestik. Sementara di level negosiasi pemerintah begitu gencar melancarkan liberalisasi, namun disaat yang sama tidak ada arah yang jelas untuk meningkatkan daya saing produk domestik. Sebut saja misalnya di sektor TPT sudah barang tentu akan dikuasai oleh pasar China, Korea, India, dan Pakistan. Problematika industri domestik yang tidak memiliki titik pijak dan blue print yang jelas makin mengaburkan benefit yang akan diperoleh dari EPA tersebut.

Salah satu agenda penting yang dibicarakan dalam lawatan SBY ke Jepang, 31 Mei 2005, adalah disepakatinya Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPAs - Economic Partneship Agreement) antara keduabelah negara. Departemen Perdagangan dibawah Marie E. Pangestu sekarang ini sangat giat dalam merapatkan Indonesia dalam setiap forum internasional. Salah satunya adalah dengan mengadakan berbagai Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPAs- Economic Partneship Agreements) dengan negara-negara yang “dinilai” menguntungkan Indonesia. Dalam konteks kawasan Asia Tenggara, dapat dikatakan Indonesia memang masih ketinggalan dibandingkan dengan Singapura dan Thailand yang sudah maju dengan berbagai perjanjian perdagangan bebas bilateral (BFTA – Bilateral Free Trade Agreements) / EPAs. Dalam lingkup Asia Tenggara, Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN – Association of Southeast Asian Nations) telah melakukan BFTA dengan China, dan sedang melakukan penjajakan dengan negara-negara Asia Timur lainnya, seperti Korea Selatan dan Jepang.

Pada akhir Mei 2005 ini, berbagai berita di media massa telah gencar meliput perkembangan rencana EPA antara Indonesia dan Jepang. Untuk sementara ini, kedua pihak sepakat untuk mulai memasuki tahap perundingan pada tanggal 31 Mei 2005. Sebelum diadakannya perundingan, kedua pihak telah melakukan Kelompok Studi Bersama (Joint Study Groups - JSG), yang merupakan tahap penjajakan. JSG pertama dilakukan Jakarta, sedangkan yang kedua dan ketiga dilakukan di Bali dan Tokyo. Pada JSG yang diadakan di Indonesia, penjaringan pendapat dan aspirasi dilakukan dengan mengundang para perwakilan dari asosiasi industri-industri, departemen-departemen dan think-thank, seperti Lembaga Penyidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Universitas Indonesia dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Institute for Global Justice (IGJ) sebagai pihak LSM mendapat undangan setelah melayangkan surat kepada Menteri Perdagangan, dan ditanggapi dengan mengundang IGJ sebagai wakil dari masyarakat sipil.

Beberapa hari sebelum diadakannya perundingan EPA antara Indonesia dan Jepang, Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Mari Elka Pangestu, menyatakan puas dengan hasil JSG yang telah dilakukan diantara kedua negara (Bisnis Indonesia, 25 Mei 2005). Sementara itu, wakil Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, Hideji Sugiyama, juga menyakatan bahwa proses perundingan diantara kedua negara akan dilakukan di sela-sela lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Jepang.

Rintisan EPA antara Jepang dan Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak pemerintahan Megawati berkuasa. Pada tahun 2003, tepatnya tanggal 24 Juni, Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, dan Presiden Megawati Soekarnoputri menyepakati perlunya dimulai kajian mengenai kemungkinan penyusunan BFTA antara kedua Negara (Kompas, 25 Juni 2003).

Pemisahan antara Ekonomi dan Masalah Sosial

Tema sentral dari EPA adalah memacu perdagangan antar negara dengan memacu tingkat ekspor. Kemakmuran seringkali diukur seberapa jauh mereka dapat 'bermain dalam pasar'. Ini sejalan dengan agenda ekonomi negara-negara berkembang yang menekankan pentingnya ekspor, tapi cenderung melupakan kondisi ekonomi nasional, sehingga terjadi kesenjangan sangat besar antara sektor yang berorientasi pada persaingan internasional dan perekonomian masyarakat luas. terpusat pada pengembangan ekonomi yang cenderung mengabaikan adanya masalah-masalah sosial, politik, hak asasi manusia, keseteraan dan lainnya. Masalah pembangunan berkelanjutan yang sangat menekankan pentingnya dimensi lingkungan hidup, hak asasi manusia, kesetaraan dan kemakmuran rakyat, boleh dibilang terhapus.Salah satu kekhawatiran yang selalu muncul dari adanya liberalisasi menyangkut nasib dari sektor-sektor marginal. Sebut saja misalnya

Mitos Pertumbuhan Menuju Kemakmuran.

Dalam paham neoliberal, pertumbuhan dipercaya mendorong pembangunan masyarakat secara menyeluruh (social development). Bukti-bukti dari negara Asia-Pasifik sendiri memperlihatkan betapa pertumbuhan terjadi tanpa pemerataan (growth without prosperity). Arus aliran barang dan uang yang begitu cepat di bawah rezim liberalisasi juga membuat modal makin independen dari kekuatan produktif, yaitu tenaga kerja. Bargaining position dari buruh, yang tergabung dalam serikat buruh maupun tidak akan melemah secara drastis, karena modal dapat mengalir ke sana ke mari tanpa hambatan, termasuk dari serikat-serikat buruh. Kompetisi internasional juga diperkirakan akan menekan tingkat upah dan standar taraf hidup secara, dan karena bargaining position yang lemah – akibat berla-kunya sistem kerja kontrak, ketidak-pastian status dan pelemahan lainnya – serikat-serikat buruh tidak dapat berbuat banyak.

Mekanisme Pengambil Keputusan dan Kesepakatan yang Tertutup.

Selama tiga tahun berlangsungnya, sidang-sidang APEC senantiasa tertutup bagi pihak lain, dan akses terhadap dokumen, keputusan dan kesepakatan penting dalam forum ini sangat dibatasi. Pemerintahan negara-negara anggota juga tidak melakukan konsultasi dengan sektor-sektor dalam masyarakat sebelum mengambil keputusan, sehingga accountability-nya sangat dipertanyakan.

Menilik posisi Indonesia didalam BFTA / EPA sebelumnya, seperti dalam lingkup ASEAN-China BFTA, maka Indonesia harus tetap memegang prinsip kehati-hatian, dengan memberikan perhatian khusus terhadap sektor-sektor yang memiliki tingkat kesiapan yang memadai untuk proses liberalisasi. Sekarang saja, misalnya, kita dapat melihat barang-barang dari Cina sudah membanjiri pasar Indonesia meskipun Indonesia masih terlibat tidak langsung dalam kerangka perjanjian perdagangan bebas tersebut. Menurut seorang anggota Komisi VI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Didiek J. Rachbini, Menteri Perdagangan Indonesia dalam hal ini tidak melakukan perhitungan cermat mengingat produk yang dihasilkan Indonesia berhadapan frontal dengan produk China (wawancara Didiek J. Rachbini, 12 April 2005). Walaupun Didiek cukup optimis terhadap langkah Marie Pangestu untuk mengadakan BFTA dengan Jepang, dikarenakan sifat komplementaritas antara ekonomi Indonesia dan Jepang. Namun perlu diwaspadai bahwa Jepang dikenal cukup protektif dalam sektor pertaniannya. Hal tersebutlah yang harus membuat Indonesia tetap waspada terhadap bentuk-bentuk EPA / BFTA yang diluncurkan oleh pemerintah.

Pendapat hampir senada juga diungkapkan oleh anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, bahwa perdagangan bebas memang sudah menjadi filosofi dari Menteri Perdagangan sekarang ini. Memang betul, tidak seluruhnya pasar bebas itu buruk, dan pada satu titik tertentu mekanisme seperti itu dapat dibutuhkan. Wibowo mengibaratkan bahwa pasar bebas itu bak kurva lonceng ada titik tertentu, dimana setelah berlebihan dia justru kontraproduktif. Dan sekarang ini liberalisasi yang dilakukan pemerintah sudah mengarah pada “liberalisasi terjun bebas” (wawancara Dradjat Wibowo, 2 Mei 2005).

Yang menjadi catatan adalah liberalisasi yang dilakukan oleh pemerintah sekarang ini sejauh-jauhnya harus dilakukan demi kesejahteraan rakyat Indonesia, dan bukan hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Tentu saja, hal tersebut hanya dapat dilakukan apabila pemerintah membuka diri dengan melibatkan berbagai pihak terkait, baik sektor bisnis, maupun perwakilan masyarakat sipil. Walau secara prinsip ditentang, liberalisasi adalah gelombang yang tidak dapat ditahan. Pemerintah Indonesia sejak awal sudah menyatakan komitmen terhadap APEC dan AFTA serta GATT/WTO, sekalipun tanpa kon-sultasi dengan rakyat maupun 'per-wakilannya'. Dalam hal ini perlu di-pikirkan strategi pemberdayaan yang dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dibawa APEC, dan lebih lanjut mempertanyakan kehadiran dan eksistensinya secara menyeluruh. Salah satu langkah penting adalah membuat wacana tandingan (counter-discourse) yang mengakomodasi berbagai kepentingan dan pemikiran dari kalangan rakyat sendiri, khususnya mereka yang tidak diuntungkan oleh rezim liberalisasi ini. Tidak kurang, ketua komisi VI, Khofifah Indar Parawangsa menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki visi dan strategi jangka panjang yang menyeluruh baik di sektor industri maupun perdagangan yang dapat digunakan sebagai acuan kerja sama tersebut.


Wawan Fahrudin
Peneliti Institute for Global Justice

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home