Monday, July 18, 2005

Pertumbuhan EkonomiI Tidak Sejalan Dengan Kemakmuran

Ada indikasi bahwa terjadi manipulasi data pertumbuhan ekonomi sebagaimana awalnya dinyatakan oleh BPS yaitu Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi 6,35 persen dan dilain pihak Departemen Keuangan . Beberapa waktu lalu BPS (Badan Pusat Statistik) memaparkan data bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun 2005 mencapai 6,35 persen. Ini merupakan prestasi menakjubkan setelah pasca krisis ekonomi 1997 yang menghempaskan ekonomi Indonesia. Tidak ketinggalan IMF pun turut memuji Indonesia dengan mengatakan bahwa pertumbuhan PDB (pendapatan domestik bruto) dan sektor investasi pada triwulan pertama 2005 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan angka kuantitatif 5,5 persen. Namun jangan gembira dulu, fakta lain berbicara bahwa ada anak menderita busung lapar di Mataram, NTB, seorang ibu menggadaikan anak kembarnya karena tidak mampu membayar persalinan, 545.364 penduduk Lampung terkategori miskin, dan banyak lagi paparan yang memilukan tentang Indonesia yang tidak diberikan oleh media. Bayangkan saja, 16 persen atau 40 juta penduduk Indonesia dari 210 juta masih miskin! Kemudian orang awan akan bertanya buat apa data pertumbuhan ekonomi tinggi, kalau kami tidak mampu makan, berobat, dan menyekolahkan anak-anak kami?

Hampir tidak ada yang membantah bahwa ekonomi Indonesia sudah tumbuh pesat pasca krisis, bahkan wartawan Amerika Serikat yang tergabung dalam Jefferson Fellowship dan baru pertama kalinya berkunjung ke Indonesia serta Asia mengaku tercengang melihat kemajuan Jakarta (Tajuk Rencana Kompas, 20/5 2005). Dalam benak saya, mungkin para wartawan mengasumsikan citra Indonesia sebagai negara terbelakang seperti kota-kota Asia umumnya namun ternyata “bak kota New York”. Namun keterpanaan para wartawan kembali terjadi tatkala melihat banyaknya anak jalanan di pinggir jalan Jakarta. Menakjubkan kesenjangan Jakarta, bahkan ini potret riil dari Indonesia!

Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan

Kita kerap disajikan dengan berbagai data statistik dengan perhitungan yang njlimet, dengan metode kuantitatif canggih, dan dalil-dalil ekonomi yang luar biasa “melenakan”. Sebut saja misalnya, argumentasi para ekonom ketika menyatakan bahwa kenaikan harga BBM yang akan mengurangi jumlah angka kemiskinan secara signifikan. Betul memang, namun mengurangi jumlah kemiskinan bukan berarti karena meningkat kesejahteraannya, namun karena naik pesatnya angka mortalitas karena ketidakmampuan penduduk miskin untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan layak, rumah layak, dan makan yang cukup.
Selalu saja para ekonom neoliberal menandaskan suatu keniscayaan bahwa untuk mengurai kemiskinan tidak lain dengan jalan percepatan pertumbuhan ekonomi. Asumsinya bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi akan membawa pemerataan melalui ”mekanisme menetes ke bawah” (tricle down effect). Namun apa yang terjadi? Sudah lebih dari dua dasawarsa ekonomii kita terintegrasi dalam pasar bebas, pertumbuhan ekspor yang tinggi, namun di dalam negeri jurang kemiskinan, tak kunjung rapat justru makin menganga lebar. Belum lagi persoalan kelembagaan birokrasi kita yang sangat korup sehingga berbagai program pemerintah hanya berhenti di tengah-tengah dan target sasaran (beneficiaries) hanya mendapatkan ”remah” dari program tersebut. Sebut saja misalnya program raskin (beras untuk rakyat miskin), yang banyak diselewengkan bahkan dijual oleh aparat-aparat lurah. Belum lagi dana kompensasi BBM yang dikatakan akan dapat membantu sektor-sektor pendidikan dan kesehatan. Namun hingga sekarang belum nampak realisasi. Dan publik sudah terlanjut apatis bahwa dana-dana itu tidak dikorupsi mengingat pengalaman yang sudah berjalan selama ini.

Ada beberapa persoalan mendasar terkait dengan penyaluran program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Pertama, tidak adanya kelembagaan yang akuntabel yang menjamin program tersebut tepat sasaran dan tepat guna. Yang terjadi selama ini adalah dana-dana tersebut justru makin memperpanjang rantai korupsi dari pusat sampai daerah. Kedua, alokasi dana-dana tersebut tidak berbasis pada kemampuan atau potensi dari target sasaran. Sehingga dengan berbesar hati kalau pun dana tersebut sampai pada sasaran, belum efektif untuk meningkatkan kesejahteraan.

Dari program pembangunan selama ini hanya terpusat di Jakarta, dan beberapa kota besar di Jawa, hanya sedikit yang berada di Indonesia Timur. Betul bahwa sekarang ini sudah berubah sejak adanya desentralisasi dan banyak investor menanamkan modalnya di Indonesia Timur khususnya, dan daerah-daerah pada umumnya. Namun harus diingat bahwa selain meningkatnya investasi di daerah juga terjadi eskalasi korupsi di daerah. Ini bukan lagi isapan jempol. Korupsi sekarang ini bukan lagi “kerjaan” orang Jakarta, namun pejabat-pejabat daerah juga sudah mulai kebagian. Lihat saja berapa banyak kasus anggota DPRD, Gubernur, Bupati yang telah dikenaikan tuduhan korupsi! Hal ini makin menyakinkan bahwa persoalan kemiskinan tidak bisa ditumpukan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi. Bisa jadi memang terjadi pertumbuhan ekonomi seperti yang diungkapkan oleh BPS, namun berapa persen yang menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut?

Jadi sangat naïf apabila mengaitkan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan meratanya tingkat kesejahteraan. Besar kemungkinan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut hanya didorong oleh konsumsi, dan kalau pun tidak hanya dinikmati oleh minoritas yang dalam lingkar ekonomi dan kekuasaan. Sehingga yang terjadi kemudian adalah kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi. Jangan heran bilamana ada orang yang berpenghasilan ratusan juta rupiah, namun di pihak lain ada penduduk yang tidak mampu makan dalam sehari.

Kembali ke Ekonomi Pertanian

Kita patut puji dan dengan besar hati harus opmitis dengan gagasan pemerintah untuk melakukan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) untuk jangka waktu 5 tahun ke depan. RPPK merupakan program menyeluruh untuk memberdayakan kehidupan perekonomian petani dan masyarakat pedesaan, yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan pertumbuhan pertanian rata-rata sebesar 3,5% per tahun. Ini merupakan satu langkah terobosan untuk memperhatikan sektor yang selama ini dipandang sebelah mata. Padahal sektor-sektor tersebut merupakan penopang kehidupan rakyat banyak dan menjadi mata pencaharian mayoritas penduduk. Namun hingga sekarang tidak ada kebijakan menyeluruh untuk meningkatkan kesejahteraan para pelaku didalamnya. Petani, dan nelayan tidak pernah hampir tersentuh program pemerintah. Kalaupun tersentuh itu hanya menguntungkan di level tengah yang banyak dikuasai oleh broker/ perantara, sedangkan petani dan nelayannya sendiri jauh dari hidup sejahtera.
Diperlukan dukungan dari seluruh pihak sehingga program pemerintah ini bukan sekedar lip service. Gagasan yang cukup brilian adalah mengalokasikan 15 juta lahan pertanian abadi. Bilamana hal ini terealisasi maka kita sudah tidak perlu mengimpor beras lagi. Dan dalam jangka panjang, kedaulatan pangan (food sovereignity) kita juga terjamin karena tidak ada ketergantungan dengan bangsa lain seperti selama ini terjadi. Apalagi didukung oleh program pertanian organik yang gagas oleh Departemen Pertanian, akan makin mengokohkan posisi Indonesia untuk mengatasi persoalan pangan. Demikian juga dengan sektor perikanan. Permintaan yang besar terhadap produk perikanan harus dimanfaatkan secara optimal terutama untuk memenuhi pasar domestik. Selain itu menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah (value added) dari sektor ini. Di sektor kehutanan, walaupun disertai dengan pesimisme, patut diuji kebijakan pemerintah untuk menjamin adanya kepemilikan hutan rakyat yang dikelola secara adat. Pembalakan hutan yang merajalela sekarang ini telah mengikis tanah adat dan kerusakan lingkungan yang parah dapat direduksi bertahap secara siginifikan.

Penulis: Wawan Fahrudin, Peneliti Institute for Global Justice