Sekuritisasi Maririm dan Wilayah Perbatasan
Kompas - 8 Maret 2005
Oleh Wawan Fahrudin
SENGKETA Indonesia-Malaysia kembali mengemuka setelah Petronas, perusahaan minyak Malaysia, pada 16 Februari lalu melakukan kontrak kerja dengan memberi konsesi eksplorasi minyak terhadap Shell yang melewati wilayah Ambalat, di timur Pulau Kalimantan.
Indonesia mengklaim perairan yang tidak jauh dari Sipadan dan Ligitan ada di wilayah Indonesia. Sipadan dan Ligitan sendiri dulu juga menjadi perebutan Indonesia-Malaysia dan diselesaikan di Mahkamah Internasional, dan dimenangi Malaysia.
Tindakan Malaysia membuat Indonesia gerah dan menyiapkan armada tempur untuk mengamankan wilayah kedaulatan RI. Sebagai langkah lanjut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengunjungi perbatasan wilayah itu dan memerintahkan Panglima TNI untuk menegaskan kembali perbatasan wilayah Indonesia sebagai wujud kedaulatan bangsa. Informasi terakhir, SBY bertemu PM Malaysia Datuk Abdullah Ahmad Badawi dan sepakat masalah ini tidak usah dibesar-besarkan dan diselesaikan menteri luar negeri kedua negara.
Bisa jadi persoalan ini selesai, tetapi di balik itu semua terkandung bahaya yang tidak kentara dan sewaktu-waktu tersulut kembali, berkaitan teritorial Indonesia dengan beberapa tetangga. Dan ini menjadi potensi konflik di level kawasan maupun internasional.
Sekuritisasi maritim
Sekadar menggambarkan, saat ini potensi konflik mudah terjadi pada daerah sea dispute border antara lain dengan Singapura (Selat Philips), Vietnam (utara Kepulauan Natuna), dan pengaturan kembali perairan Indonesia di sekitar kepulauan Timor setelah Timor Timur berpisah dari Indonesia.
Tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif dengan beberapa tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflik internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.
Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki banyak "pulau-pulau tak bernama", membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusia. Ketiga, tidak adanya negosiator mumpuni yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis (pangkal) pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan guna mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, hal ini memerlukan political will pemerintah. Tanpa itu mustahil akan berhasil. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus- menerus, pendudukan intensif, dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya ketiga unsur itu menjadikan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Lemahnya armada maritim Indonesia
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang "tidak layak tempur" karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alutsista (alat utama sistem persenjataan) merupakan "besi tua yang mengambang" dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh, (Anak Agung Banyu Perwita, Jurnal Global, 1/11/2004).
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun (ibid).
Diplomasi dan konfrontasi
Ritme hubungan Indonesia- Malaysia dapat dikatakan naik turun. Masih segar dalam ingatan kita, Soekarno pernah menyerukan Komando "Ganyang Malaysia" sebagai reaksi atas tuduhan neokolonialisme (Nekolim). Semangat "ganyang Malaysia" kini sedang menggema kembali, sebagai cermin nasionalisme kebangsaan.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, seperti ditulis I Basis Susilo ("Menghadapi Provokasi Malaysia", Kompas), kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling gamblang, tiadanya penamaan atas pulau-pulau "tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.
Keamanan wilayah
ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak dapat campur tangan atasnya. Memang secara historis, ASEAN dibentuk atas dasar persoalan politik, yaitu adanya ketakutan peristiwa seperti "ganyang Malaysia" terulang kembali. Artinya, kerja sama regional Asia Tenggara ini ingin meminimalisasi intervensi satu negara atas negara lain.
Paranoid historis inilah yang menjadikan ASEAN tidak memiliki power dalam menyelesaikan masalah batas teritorial. Meski pembicaraan mengenai forum-forum kerja sama seperti ASEAN Security forum, ASEAN Maritime Forum memang merumuskan kerja sama keamanan regional negara Asia Tenggara, geregetnya belum kelihatan.
Sebagai forum kerja sama regional, seharusnya aneka masalah regional menjadi tanggung jawab bersama. Namun, atas dasar prinsip nonintervensi inilah, ASEAN menjadi tidak cukup menggigit dalam mengatasi persoalan perbatasan, seperti halnya yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia.
Wawan Fahrudin Peneliti Institute for Global Justice (IGJ)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home