Tuesday, July 19, 2005

Menguji KAA dalam Pusaran Globalisasi Neoliberal

Kompas, 12 April 2005

PERTENGAHAN April 2005 akan diselenggarakan perhelatan besar. Benih demokrasi yang sudah lama terbenam digali kembali, yakni peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika di Bandung.
DI Bumi Sangkuriang tersebut, 50 tahun lalu pemimpin-pemimpin negara Asia dan Afrika merumuskan apa yang sekarang ini dikenal dengan Dasa Sila Bandung, cikal bakal gerakan nonblok (non-alignment movement) tahun 1960. Peringatan KAA setelah lima dasawarsa mengingatkan memori kolektif kita terhadap kota Bandung sebagai simbol perlawanan kolonialisme.

Selain peringatan KAA yang dipusatkan di Bandung, juga diadakan KAA Summit yang diadakan di Jakarta atas kerja sama Pemerintah RI dan Afrika Selatan yang mengundang 105 negara. Semangat yang dibangun dalam KAA 2005 adalah membentuk kemitraan strategis baru antara kawasan Asia dan Afrika yang bertumpu pada bidang politik, sosial budaya, dan ekonomi melalui kerja sama antarpemerintah, organisasi subregional, maupun antarmasyarakat.
Kerja sama Asia dan Afrika menjadi sangat relevan bilamana ditempatkan dalam konteks kekinian.

Secara geografis dan kesejarahan kelompok negara-negara yang tergabung dalam KAA memiliki kemiripan. Mereka semua merupakan negara-negara yang mengalami masa kolonialisme pada masa lalu. Selain itu, secara ekonomi negara-negara mayoritas dalam kategori terbelakang dan berkembang. Namun, yang patut mendapat acungan jempol adalah pendahulu mereka telah merumuskan tonggak sejarah yang berharga sebagai sikap yang antiterhadap segala bentuk kolonialisme dan imperialisme.

Berbicara mengenai KAA 1955 tidak pernah terlepas dari Dasa Sila Bandung. Komunike bersama ini merupakan sikap dari negara-negara Selatan tatkala merespons situasi dunia yang diliputi oleh perang dan penindasan. Kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam Dasa Sila Bandung tersebut jelas menempatkan negara-negara Asia dan Afrika dalam spektrum demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Dan nilai-nilai tersebut sangat relevan sekali dalam konteks kekinian yang mencerminkan semangat perdamaian, antipenindasan, saling menghormati, dan pengakuan atas kedaulatan bangsa dan negara.

Di tengah situasi dunia yang "tidak sehat" dengan dominasi Amerika Serikat menjadikan nilai-nilai Dasa Sila Bandung patut ditegakkan kembali. Latar belakang penetapan prinsip Bandung tersebut lebih berlandaskan suasana politik global kala itu. Seiring perubahan zaman, prinsip-prinsip tersebut walaupun masih relevan, namun harus diremajakan dengan memperkaya prinsip-prinsip terkait melalui kerja sama ekonomi, sosial, dan budaya di antara negara kawasan.

Lima tahun lalu, tepatnya tahun 1997, sebagian besar negara Asia terempas krisis ekonomi. Sebagian besar pihak mulai menyangsikan globalisasi neoliberalis yang menjanjikan kemakmuran dan kesejahteraan ternyata rentan.

Sistem keuangan internasional yang hanya dikuasai oleh segelintir spekulator telah menghancurkan pembangunan negara Asia dalam sekejap dan telah dirintis puluhan tahun.
Kemudian, datang "dokter" dari ekonom neoliberal menawarkan struktural adjusment program (SAP) yang pada intinya adalah mendorong privatisasi seluas-luasnya dan minimalisir peran pemerintah.

Motor-motor neoliberal, serupa Bank Dunia, IMF, dan WTO, efektif dalam memfasilitasi perusahaan multinasional untuk mencengkeram ekonomi negara dunia ketiga, yang berada di belahan selatan, Asia, dan Afrika.

Di tengah abad teknologi informasi bisa jadi memang tidak lagi relevan membicarakan perspektif ideologi dalam spektrum kiri atau kanan, namun bukan berarti pertarungan ideologi sudah usai.

Pascakeruntuhan rezim sosialis, Uni Sovyet 1990, besar kemungkinan solidaritas politik yang menjadi modal dalam menyatukan negara Asia dan Afrika makin terkikis. Apalagi China perlahan dan pasti juga mulai merapat dengan pusaran kapitalisme, ditandai dengan masuknya China dalam WTO tahun 2001.

Seiring masuknya China dalam organisasi perdagangan dunia tersebut, maka ekspansi pasar besar-besaran ke seluruh dunia, dan produk China membanjiri hampir semua negara di dunia. Tak ayal lagi, sebagian besar kalangan menilai bahwa sekarang ini adalah abad Asia dengan dimotori China dan India.

Kendala kerja sama Asia dan Afrika

Dunia sekarang ini sudah tidak lagi disatukan oleh ideologi-ideologi yang dapat menggerakkan dari perlawanan secara masif. Pragmatisme ekonomi lebih menjadi ikatan dalam menjalin kerja sama, baik dalam level bilateral maupun multilateral.
Hal ini menjadi kendala tersendiri bilamana dikaitkan dengan kerja sama Selatan-Selatan. Besar kemungkinan bahwa event KAA ini lebih banyak sisi romantika sejarahnya daripada mewujudkan satu kerja sama yang riil antarmasing-masing negara kawasan.
Kendala utama yang sering kali diungkapkan oleh para pengusaha, menjalin perdagangan dengan negara-negara Afrika adalah tidak sebanding antara cost yang dikeluarkan dan potensi pasarnya.

Hal itu juga diakui oleh Direktur Bilateral II Deddy Saleh yang mengungkapkan bahwa kebanyakan pengusaha Indonesia kurang tertarik karena terkendala ongkos pengapalan. Walaupun memiliki jarak yang relatif sama dengan negara-negara Eropa, namun dari ukuran potensial pasar Eropa jauh lebih besar.

Ketidakmampuan negara-negara di Asia dan Afrika dalam merapatkan barisan termasuk di dalamnya menyatukan berbagai kepentingan nasionalnya yang berbeda dan beragam hanya akan mengakibatkan semangat Bandung menjadi retorika politik belaka.
Lebih jauh, kegagalan negara-negara di Asia dan Afrika dalam menyatukan langkah ekonomi, sosial, dan politiknya hanya akan menjadikan berbagai forum kerja sama yang sudah terbentuk selama ini sebuah talk-shop baru dalam hubungan antarkawasan kontemporer.
Asia dan Afrika bukan hanya sekadar solidaritas

Agenda utama KAA 2005 adalah membahas dan kemudian meluncurkan Deklarasi Kemitraan Strategis Baru di Asia Afrika (NAASP).

Pada intinya, NAASP berisi uraian mengenai prinsip-prinsip dasar kemitraan strategis baru Asia dan Afrika, tujuan dan sasarannya, substansi kerja sama yang mencakup aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan mekanisme kerja sama selanjutnya, demikian dipaparkan Direktur Jenderal Urusan Asia, Pasifik, dan Afrika (Aspasaf), Departemen Luar Negeri, Herijanto Soeprapto.

Kemitraan strategis baru AA tersebut, lanjut Dirjen Aspasaf, akan difokuskan pada bentuk kerja sama konkret dan komplementer demi tercapainya perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di dua benua.

Untuk itu akan diupayakan penguatan kerja sama antar-organisasi-organisasi subregional dan regional di kedua benua untuk mengimplementasikan proyek-proyek kerja sama yang konkret.

Program-program konkret dalam unsur NAASP antara lain peningkatan sumber daya manusia dan kapasitasnya, memperkuat sistem perdagangan multilateral, meningkatkan kerja sama perdagangan, industri, investasi, dan keuangan. Kemitraan baru Asia dan Afrika tersebut akan terdiri dari tiga pilar, yaitu antarpemerintah, antarsubregional, dan antarmasyarakat.

Kendati pun secara politis kemitraan Asia-Afrika telah berlangsung sejak lama, yang ditandai oleh perjuangan bersama melawan kolonialisme yang termanifestasikan dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955, namun interaksi dua kawasan ini dapat dikatakan relatif masih sangat terbatas.

Oleh karena itu, upaya-upaya untuk terus meningkatkan derajat dan intensitas interaksi antardua kawasan ini merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan bersama. Nilai-nilai yang terkandung dalam Dasa Sila Bandung sebagai output strategis KAA seperti koeksistensi perdamaian, kerja sama dan persahabatan, serta penghormatan terhadap integritas teritorial dan pengakuan terhadap kesamaan ras tetap memiliki makna yang teramat penting dan kontekstual dalam interaksi regional dan global dewasa ini.
Kerja sama yang sudah terjalin antara negara-negara Asia dan Afrika dalam memerangi kolonialisme beberapa dekade lalu masih tetap diperlukan dan bahkan ditingkatkan untuk memerangi "musuh" masa kini berupa kolonialisme dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.

Dengan demikian, adalah sebuah kebutuhan yang sangat penting dan mendesak bagi kedua kawasan untuk tetap menghidupkan dan bahkan meremajakan kembali semangat Bandung ini sesuai kondisi ekonomi, sosial, politik, dan keamanan yang kini sedang kita hadapi bersama.

Dalam konteks perubahan yang terjadi dalam hubungan internasional, negara-negara Asia-Afrika menghadapi tantangan-tantangan besar, terutama dalam bidang:
• Ekonomi dan pembangunan.
• Perdamaian dan keamanan global, khususnya terorisme.
• Restrukturisasi politik global (Anak Agung Banyu Perwita PhD, Dasa Sila Bandung dan
Kemitraan Strategis Baru www.sinarharapan.co.id).

Sangat disayangkan dalam KAA sekarang ini tidak melibatkan elemen civil society di kedua kawasan tersebut. KAA Summit yang diselenggarakan di Jakarta 21-23 April hanya melibatkan pemerintah di kawasan tersebut. Padahal mencermati sejarah KAA yang lalu, elemen civil society juga disertakan dan memiliki andil yang cukup besar dalam merumuskan prinsip-prinsip yang dilahirkan.

Idealnya, KAA 2005 melibatkan stakeholder yang luas untuk menjaring inisiatif publik dan aspirasi domestik untuk diusulkan dalam kerangka kerja sama yang saling menguntungkan.
Kerangka NAASP sendiri dalam skemanya sudah mengakomodir kepentingan-kepentingan dalam bentuk kemitraan, seperti antarpemerintah, antarorganisasi subregional, dan antarkelompok masyarakat (bisnis, akademisi, dan masyarakat madani).
Namun, dalam proses pembicaraan, kelompok madani atau sering kali disebut civil society tidak dilibatkan secara penuh.

Bilamana summit tersebut memang diperuntukkan untuk setingkat kepala negara dan menteri luar negeri, seyogianya telah diadakan sebelumnya forum-forum dialog untuk menjaring aspirasi dari masyarakat. Hal ini penting sekali agar tidak terjadi kesenjangan antara pemerintah di level policy dan di tingkat praksis.

Wawan Fahrudin Peneliti Institute for Global Justice (IGJ)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home