Menilik "Wajah" Pemerintahan SBY-Kalla dalam Privatisasi BUMN
60 tahun Indonesia merdeka menimbulkan tanda tanya besar akan pencapaian-pencapaian sebagai sebuah bangsa berdaulat. Berdaulat merupakan kata kunci yang menunjukkan eksistensi negara sebagai satu entitas politik. Wajar kiranya bilamana kita mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahan SBY-Kalla untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia merupakan bangsa bermatabat dan berdaulat. Dan privatisasi BUMN yang marak dilakukan, tidak hanya pada saat pemerintah SBY-Kalla, namun juga Megawati sebelumnya telah meragukan kita semua bahwa Indonesia masih memiliki kedaulatan.
Duet kepemimpinan SBY-Kalla menaburkan optimisme, tatkala berhasil memenangkan pemilu tahun 2004. Bukan tanpa dasar memang, karena naiknya SBY-Kalla hasil dari pemilu langsung yang pertama kali di Indonesia. Harapan-harapan masyarakat pun membuncah, dengan menyandarkan kepada pundak keduanya untuk membawa Indonesia keluar dari krisis multidimensi. Dan publik mulai berpihak tatkala kedua pasangan ini melakukan gebrakan dengan menjerat pelaku-pelaku korupsi, yang dimulai dari kasus penyelewengan dana pemilu oleh para anggota KPU.
Bagaimana menilik karakter pemerintahan SBY-Kalla dari sudut pandang pro-rakyat atau tidak menjadi persoalan lain yang patut dicermati dan patut menimbulkan pesimisme. Logika-logika neoliberal sangat kental dalam pemerintahan SBY-Kalla. Bahkan sinyalemen Baswir 1 yang dari awal optimis menilik desertasi SBY, makin pupus tatkala SBY menempatkan figur-figur yang memiliki karakter neoliberal. Benar kiranya, setelah berjalan selama satu tahun, banyak kebijakan yang berpihak terhadap pelaku bisnis dan menjadi karakter utama wajah pemerintah SBY-Kalla. Publik pun akhirnya mafhrum, karena personal yang duduk dalam pemerintahan SBY merupakan orang-orang yang terdidik dengan logika-logika neoliberal untuk mengentaskan berbagai persoalan ekonomi. Sebut saja misalnya, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Menteri Perdagangan, Mari E. Pangestu, yang makin merapatkan posisi Indonesia dalam pusaran globalisasi neoliberal. Berbagai agreement internasional ditetapkan dibuat untuk memuluskan investasi di Indonesia, dengan difasilitasi berbagai deregulasi kebijakan yang pada intinya adalah meliberalisasi berbagai sektor, tak terkecuali sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti halnya kesehatan publik dan pendidikan. Sektor pertanian pun tak luput dari skenario liberalisasi, sesuai dengan komitmen kita di WTO (AoA- Agreeement of Agriculture). Padahal pangan merupakan hajat hidup rakyat dan seharusnya ditarik dari WTO karena hal tersebut bukan komoditas yang diperdagangkan sebelum kita mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan nasional. Pembukaan impor beras dan gula menjadi pelajaran penting dengan dibanjirinya beras dari Vietnam, dan membuat petani kita dirugikan. Walaupun sudah dicetuskan kebijakan retrukturisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan, namun hingga sekarang hanya lip service saja.
Lolosnya UU Sumberdaya Air juga dapat dicermati dari alur pemikiran neoliberal. Ditolaknya UU Sumberdaya air oleh MK (Mahkamah Konstitusi) menjadi cermin untuk memuluskan jalan bagi investor asing untuk menanamkan modal di sektor strategis yang seharusnya dilindungi negara. Tidak berbeda dengan Menteri Koordinator Ekonomi, yang dikomandani oleh Aburizal Bakri, yang sebelum menjadi menteri merupakan konglomerat bisnis di Indonesia. Kepentingan oligarkhi bisnis akhirnya menjadi prioritas kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu. Sosok Jusuf Kalla yang memegang posisi sentral yang mengendalikan kemudi kekuasaan juga makin melengkapi karakter-karakter kebijakan elitis yang dibangun oleh rezim SBY. Seluruh lobi-lobi di lembaga keuangan internasional juga dilakukan Sri Mulyani, mantan pejabat IMF yang juga memegang jabatan ketua Bappenas, yang kita ketahui bersama merupakan badan yang menyusun langkah-langkah strategis pembangunan nasional. Ibarat masakan, bumbu neoliberal sudah lengkap diracik oleh pemerintah SBY, dan disajikan ke seluruh rakyat Indonesia sekarang ini.
Implikasi yang kemudian ditanggung oleh rakyat Indonesia dapat dirasakan sekarang. Privatisasi menjadi kata kunci untuk menjalankan ideologi neoliberal. Hal ini disebabkan aktor-aktor yang berperan penting dalam idelogi tersebut adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Asumsi yang digunakan adalah pasar akan menemukan mekanisme keseimbangan (balancing of market) tanpa/ tidak melalui intervensi pemerintah. Jadi sudah jelas bahwa logika efisiensi akan dijadikan alat untuk mengharamkan campur negara. Padahal pasar tidak pernah sempurna dan pasti akan menimbulkan the winner and the looser, maka negara seharusnya menjadi buffering untuk senantiasa melindungi the looser. Karakter keberpihakan kepada rakyat tidak tercermin dari pemerintahan SBY sekarang ini.
Para aktivis dan kalangan civil society menilai bahwa neoliberalisme tidak lain hanya metamorphosis dari bentuk penjajahan fisik yang dilakukan negara maju menjadi hegemoni ekonomi. Bentuk-bentuk penjajahan baru/neoliberalisme dalam kebijakan-kebijakan seperti:2
1.Penghapusan Subsidi untuk rakyat (Subsidi Pendidikan, Kesehatan, BBM, Listrik, Air, dll)
2.Privatisasi BUMN & BUMD (Indosat, Mandiri, Pertamina, Telkom, PT DI, PDAM/PAM dll)
3.Komersialisasi pendidikan dan kesehatan (UU Sisdiknas dan RUU Kesehatan)
4.Liberalisasi perdagangan (WTO)
5.Liberalisasi energi dan sumber daya alam dll (UU Migas 22/2001, UU Privatisasi Air no. 7/2001, Perpres 36/2005, dll)
Konstitusi sudah mengamatkan bahwa seluruh sektor yang berkait dengan hajat orang banyak menjadi kewajiban negara untuk melakukan proteksi, namun tidak demikian halnya dalam realitas. Pola pikir neoliberal ini juga menurut kepada pilihan-lihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah SBY. Misalnya saja dalam kasus privatisasi BUMN, logika yang dgunakan adalah besarnya penerimaan pajak dari sektor tersebut. Bilamana BUMN sudah diprivatisasi, tanpa mempertimbangkan jangka panjang, pelan namun pasti kita akan menjadi bangsa paria karena seluruh sektor-sektor strategis dikuasai oleh asing. Dalam kasus privatisasi Indosat misalnya, BUMN Singapura STT membeli Indosat melalui perusahaan yang didirikan secara dadakan yakni Indonesia Communication Limited (ICL). Badan hukum ICL bukan Indonesia tapi Mauritius, yakni salah satu di antara 34 negara kecil di dunia yang menjadi surga perusahaan-perusahaan transnasional untuk menghindari pajak di negara asalnya atau negara tempat operasi perusahaan-perusahaan multinasional tersebut (offshore financial centers). Penjualan saham BUMN baik sebagian atau 100% juga akan mereduksi kekuatan kontrol pemerintah terhadap BUMN yang bersangkutan. Juga pasti akan mengurangi pendapatan pemerintah dari deviden yang selanjutnya membuat APBN kehilangan sumber penghasilan.
Mengamati berbagai skenario yang dijalankan oleh pemerintahan SBY-Kalla makin meyakinkan kita semua bahwa ujung pencapaian sebagai sebuah bangsa yaitu kedaulatan Indonesia sudah berada di ujung tanduk.
Penulis: Wawan Fahrudin, Peneliti dari Institute for Global Justice, dapat dihubungi di wawan@globaljust.org, www.wawanfahrudin.blogspot.com