Mengkaji Iklim Investasi dan Kepastian Hukum di Daerah
I. Pendahuluan
Krisis ekonomi yang menimpa Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1998, masih menyisakan berbagai persoalan bangsa, yaitu mulai dari masalah ekonomi, juga instabilitas politik dan keamanan. Akibatnya Indonesia mengalami krisis multidimensi. Harga-harga kebutuhan pokok tidak terjangkau, daya beli masyarakat menurun, hilangnya minyak tanah di pasaran, kenaikan harga BBM, kenaikan harga beras sekarang ini, seluruhnya menggambarkan bahwa stabilitas ekonomi makro Indonesia belum sepenuhnya stabil.
Selain itu, krisis berkepanjangan ini juga diiringi dengan berbagai kerusuhan etnis yang terjadi di berbagai daerah, seperti Poso, Ambon. Hal ini mencerminkan bahwa Indonesia mutlak membutuhkan pemimpin nasional yang memiliki komitmen dan visi yang jelas dalam mengemban amanat guna mengentaskan bangsa Indonesia dari himpitan krisis mulltidimensi.
Sentralisasi ekonomi yang menjadi tumpuan pada masa Orde Baru sudah berakhir seiring dengan terjadinya krisis tahun 1998. Masa reformasi menuntut adanya desentralisasi pengelolaan ekonomi dengan memberikan porsi yang lebih besar kepada daerah dalam mengelola potensi daerahnya. Lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disempurnakan menjadi UU No. 32 tahun 2004 bersamaan pula lahir perundang-undangan terkait, seperti UU No. 25 tahun 1999 dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menjadi perangkat hukum yang mengatur masalah otonomi daerah.
Stabilisasi ekonomi makro yang menjadi tumpuan pokok pada masa otonomi daerah dilakukan melalui upaya desentralisasi kewenangan kepada pemerintah daerah. Berderet masalah sosial, ekonomi, politik dan keamanan masih menghimpit bangsa Indonesia. Beratnya kehidupan masyarakat juga ditandai dengan banyaknya penderita gizi buruk dan busung lapar, yang pada akhirnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah.
Penguatan usaha kecil yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia juga tidak luput dari perhatian, baik pemerintah pusat maupun daerah. Krisis yang terjadi pada tahun 1998 dinyatakan dalam laporan Dana Moneter Internasional (IMF-World Economic Outlook 1998), digolongkan menjadi berbagai jenis, yaitu krisis mata uang (currency crisis), krisis perbankan (banking crisis), krisis keuangan sistemik (systemic financial crisis) dan krisis hutang luar negeri (foreign debt crisis). Dan di Indonesia krisis ekonomi sudah meluas tidak hanya terjadi pada sektor keuangan dan perbankan namun juga sudah mengarah pada terjadinya krisis moral dan aspek-aspek lain. Oleh karena itu, seringkali krisis di Indonesia dinamakan krisis multidimensi.
Pembangunan pondasi ekonomi juga membutuhkan investasi dalam bidang pendidikan untuk meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tentu saja menjadi sangat signifikan perannya dalam merekatkan bangsa Indonesia yang multi etnis. Gejolak daerah yang ingin melepaskan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) mewarnai perjalanan bangsa Indonesia pasca krisis ekonomi 1998, pelan namun pasti sudah dapat diatasi dan membuahkan perdamaian. Prestasi penyelesaian konflik secara damai menjadi catatan prestasi pemerintah sekarang ini, di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan H.M Jusuf Kalla, yang dikenal dengan perjanjian Helsinki. Hal ini merupakan wujud dari penerapan konsep Ketahanan Nasional.
Konsepsi Ketahanan Nasional diperlukan untuk mencapai tujuan nasional Indonesia, yang pada intinya tercapainya rasa keamanan bagi seluruh penduduk Indonesia dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Keamanan dan kesejahteraan harus dilakukan secara berkesinambungan dan selaras, untuk mengatasi berbagai gejolak ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam (IPOLEKSOSBUDHANKAM). Dalam makalah ini akan membahas mengenai persoalan investasi di daerah terkait dengan adanya ketidakpastian hukum dan respon aparat pemerintah yang dirasakan masih kurang. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemajuan pembangunan di daerah yang pada akhirnya berpengaruh terhadap Ketahanan Nasional.
II. Pokok Permasalahan
Investasi sangat penting untuk menggerakkan perekonomian nasional sekaligus daerah yang pada gilirannya akan mampu menciptakan kesejahteraan bangsa. Otonomi daerah menjadi momentum berharga untuk membuktikan diri bahwa daerah memiliki kemampuan tangguh dalam mengelola potensi ekonominya. Kunci keberhasilan dalam menarik investor adalah adanya kepastian hukum.
Namun sayangnya, kepastian hukum hingga sekarang masih belum terbenahi dengan baik. Hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum di daerah, dan pada akhirnya justru sangat menghambat masuknya investasi di daerah. Selain itu, konsepsi Ketahanan Nasional dengan mengutamakan keseimbangan antara pengaturan dan penyelenggaraan keamanan di satu pihak dan kesejahteraan masyarakat di lain pihak juga masih terabaikan. Bagaimana menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan ditopang oleh peraturan yang mendukung sehingga mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat dan juga menciptakan stabilitas politik guna meningkatkan Ketahanan Nasional?
III. Pembahasan
A. Mengutamakan Kepentingan Daerah Sebagai Wujud Desentralisasi
Pengusaha mancanegara yang ingin berinvestasi di salah satu kabupaten di Sumatera, yaitu Kabupaten Pelalawan mungkin dapat bernafas lega kali ini karena ia tidak perlu menunggu dengan waktu lama untuk memperoleh izin usahanya di Indonesia. Bahkan ia tidak lagi perlu mengeluarkan biaya untuk membayar pajak maupun pungutan lainnya yang dapat membengkak dari tarif resmi karena cukup panjangnya jalur birokrasi untuk memperoleh izin usaha tersebut.
Gambaran di atas merupakan dampak akibat ditandatanganinya Keppres No. 29 tahun 2004 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri mengenai penyelenggaraan penanaman modal (PMDN/PMA) melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa penyelenggaraan penanaman modal, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN dilaksanakan oleh BKPM. Pelayanan Satu Atap ini meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota berdasarkan kewenangan yang dilimpahkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM.
Jadi, BKPM bertugas melakukan koordinasi antara seluruh departemen atau instansi lainnya, termasuk dengan pemerintah kabupaten, kota, serta provinsi yang membina bidang usaha penanaman modal. Pembahasan bab ini mengulas secara ringkas hal-hal yang berkaitan dengan Keppres No. 29 tahun 2004, latar belakang, kondisi investasi saat ini, dampak serta strategi investasi yang harus diambil.
Pemerintah pada akhirnya perlu untuk mengeluarkan Keppres No. 29 tahun 2004 mengingat cukup banyaknya kendala yang dihadapi oleh para investor yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha atas kegiatan investasi di daerah. Masalah ini justru malah timbul setelah berlakunya kebijakan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal. Namun demikian, isi pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak dijelaskan lebih lanjut secara teknis, sehingga pada pelaksanaannya penanaman modal daerah seringkali menimbulkan kendala yang dikeluhkan oleh para investor, yaitu tidak efisiennya pengurusan perizinan usaha. Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu cukup lama disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar.
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha bagi para investor dilakukan oleh pemerintah pusat (BKPM) dan pemerintah provinsi (BKPMD). Sejak diimplementasikannya otonomi daerah, terdapat tumpang tindih dan tarik menarik antara kegiatan BKPMD provinsi dengan BKPM serta instansi daerah yang menangani investasi/penanaman modal. Beberapa daerah menggabungkan kewenangan investasi/penanaman modal dalam dinas perindustrian dan perdagangan, atau bagian perekonomian. Ada pula yang membentuk suatu dinas penanaman modal sendiri. Namun demikian, banyak pula kabupaten/kota yang belum mampu merumuskan kebijakan atau regulasi sendiri, sehingga masih terikat dengan kebijakan pemerintah pusat.
Berdasarkan studi LPEM UI (Construction of Regional Index of Doing Business
Perjuangan untuk menjaga konsistensi pemerintah dalam menegakkan peraturan dan usulan serta masukan-masukan untuk melakukan revisi peraturan yang sesuai dengan nafas otonomi daerah diantaranya telah dilakukan oleh Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), dan membuahkan hasil dimana telah terjadi perubahan peraturan misalnya saja: perubahan UU No. 22 tahun 1999, menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan PP No. 37 tahun 2006 dari perubahan PP No. 24 tahun 2004 tentang Kedudukan Keuangan dan Protokoler pimpinan dan anggota DPRD. Berbagai kendala inkonsistensi terhadap regulasi tersebut menjadi kendala nasional yang signifikan dalam menghambat iklim investasi. Selain itu juga berpengaruh terhadap kondisi keamanan, sosial dan politik di Indonesia yang belum sepenuhnya stabil.
Pajak/retribusi usaha yang sebagian besar akan mempengaruhi kegiatan dunia usaha juga belum memiliki aturan yang jelas. Berdasarkan data KADIN pada tahun 2001, dari 910 Peraturan Daerah (Perda) mengenai pajak/retribusi, sebanyak 14.7% pajak daerah dan 72.2% retribusi daerah berhubungan dengan dunia usaha, baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga kekhawatiran pengusaha cukup beralasan mengingat banyaknya Perda baru yang berkaitan dengan pajak/retribusi daerah yang akan mempengaruhi kegiatan dunia usaha.
Selain itu, Data KPPOD di tahun 2003 mengenai Perda yang dianggap memiliki dampak negatif terhadap dunia usaha, juga menunjukkan terdapat 500 Perda dari 1300 Perda yang dianalisis, merupakan Perda yang bermasalah, baik secara prinsip, substansi, atau teknis. Namun permasalahan utama investasi di daerah sebenarnya bukan terletak pada Perda yang dibuat oleh Pemerintah Daerah namun lebih disebabkan karena ketidakjelasan peraturan pemerintah pusat.
Berangkat dari kondisi-kondisi di atas, Keppres No. 29 tahun 2004 bertujuan untuk menjamin kepastian investor dalam berinvestasi di Indonesia. Sistem Pelayanan Satu Atap ini diharapkan dapat mengakomodasikan keinginan dunia usaha untuk memperoleh pelayanan yang lebih efisien, mudah, cepat, dan tepat. Sehingga, dengan didukung oleh kondisi ekonomi makro yang membaik saat ini, adanya Keppres No. 29 tahun 2004 diharapkan dapat menarik dan mempercepat masuknya investor di Indonesia.
B. Ketidakpastian Hukum dalam Investasi
Untuk kesekian kalinya, iklim investasi di Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Juga untuk kesekian kalinya, Bank Dunia memberikan penilaian yang sama. Indonesia sekarang ini sudah bukan menjadi tujuan utama bagi investor asing. Para investor yang sudah mengenal Indonesia pun malah cenderung menghindari negeri ini.
Hasil survei Bank Dunia terhadap 155 negara menunjukkan, iklim investasi di Indonesia tergolong paling buruk di antara negara-negara lain. Iklim investasi yang dimaksudkan mencakup stabilitas ekonomi makro, kepastian hukum, sistem perpajakan, regulasi, korupsi, ketersediaan SDM yang terampil, dan ketersediaan infrastruktur (listrik, jalan, pelabuhan, telekomunikasi, dsb). Untuk sekadar mendapatkan perizinan di Indonesia, pemodal harus menghabiskan waktu 224 hari. Biaya minimal yang dikeluarkan 364,9% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita dan modal minimum yang dihabiskan 97,8% dari PDB per kapita.
Kondisi ini diperparah oleh korupsi yang merebak di mana-mana, di berbagai level. Sebagai gambaran, untuk memperlancarkan proses perizinan, seorang investor terpaksa harus menyerahkan sejumlah uang. Bahkan tidak jarang, setelah menerima uang, permintaan investor tidak segera diselesaikan. Regulasi di Indonesia hingga saat ini memang dinilai masih sangat lemah. Kelemahan regulasi ini nyaris mencakup semua aspek. Sebutlah misalnya regulasi di bidang perpajakan, ketenagakerjaan, perizinan, kepemilikan properti, investasi, dsb. Regulasi yang lemah menyebabkan ketakpastian hukum dan menyebabkan pungutan liar serta merebaknya tindak korupsi.
C. Peningkatan Investasi Meningkatkan Pendapatan Negara
Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 ditetapkan pertumbuhan rata-rata ekonomi nasional 6.6%. Dengan pertumbuhan rata-rata tersebut diharapkan dapa menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi 8.2% dan mampu mengurangi pengangguran terbuka menjadi 5.2% pada tahun 2009. Untuk mencapai pertumbuhan tersebut diperlukan investasi sekitar US$ 426 milyar. Investasi tersebut dapat berupa investasi atau dana yang berasal dari APBN atau APBD, masyarakat maupun swasta nasional dan swasta asing. Akibat terbatasnya kondisi tersebut di atas, maka investasi luar negeri menjadi andalan utama untuk mendorong perekonomian nasional.
Sektor yang paling gencar ditawarkan untuk investor asing adalah industri berorientasi ekspor yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan negara dan sekaligus memperkokoh Ketahanan Nasional.
Ketatnya persaingan antar negara dan dinamisnya perubahan lingkungan serta untuk menghindari pengaruh-pengaruh asing terhadap arah dan tujuan pembangunan nasional maka kita harus tetap mengacu kepada Paradigma Nasional sehingga setiap langkah pembangunan memiliki kesamaan landasan idiil, konstitusional, visional dan konseptual guna mencapai kemakmuran dan keamanan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, Ketahanan Nasional kita akan semakin kokoh.
Para pengusaha selama ini banyak mengeluhkan tarif pajak yang terlalu tinggi, jenis pajak yang terlampau banyak, pajak berganda (double taxation). Tidak jarang petugas pajak dan penegak hukum terkait mencari-cari celah untuk menjebak dan memeras investor dan instansi-instansi yang terkait. Seringkali investor harus mengeluarkan dana yang besar untuk menyuap para oknum penegak hukum, dan apabila hal tersebut tidak dilakukan biasanya usahanya tidak dapat berjalan lancar. Dan ini menimbulkan kerugian yang besar, terutama di bidang lapangan pekerjaan, bertambahnya tingkat pengangguran dan juga kerugian materiil bagi para investor.
Sistem perpajakan di Indonesia terlalu memberatkan pengusaha. Survei Bank Dunia menunjukkan, pengusaha harus membayar pajak sebesar 38,8% dari keuntungan kotor. Selain menguras dana begitu besar, para pengusaha menyisihkan waktu hingga 560 jam per tahun atau 2 bulan 10 hari dalam satu tahun hanya untuk mengurusi pembayaran pajak. Dan hal itu sangat merugikan dunia usaha.
Peraturan ketenagakerjaan juga terlampau memberatkan investor. Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan uang pesangon meski si pekerja dipecat lantaran tindak kriminal atau pelanggaran berat. Tidak heran bila Indonesia tertinggi dalam soal biaya untuk mem-PHK karyawan, yaitu mencapai 145 gaji mingguan. Untuk menarik minat investor, peraturan ketenagakerjaan memang tidak boleh hanya menguntungkan satu pihak, entah itu pekerja, pengusaha sebagai pemberi kerja, ataukah konsumen sebagai pengguna produk dan pemakai jasa. Regulasi yang harus diusahakan pemerintah adalah peraturan ketenagakerjaan yang menguntungkan semua pihak, baik pekerja, pengusaha, maupun konsumen.
Sebetulnya bagi pemerintah, tidak sulit membuat regulasi yang benar. Pemerintah bisa membentuk tim ahli untuk mempelajari berbagai regulasi di negara-negara maju seperti di Eropa, AS, dan Jepang. Selain itu, juga dapat belajar lewat regulasi di negara-negara Asia yang sudah mencapai tahap kemajuan lebih baik, namun memiliki karakteristik yang hampir sama dengan Indonesia. Hanya dengan sedikit modifikasi, Indonesia akan memiliki regulasi yang baik di berbagai bidang. Semua yang disarankan ini sesungguhnya sudah diketahui pemerintah. Namun persoalan pokok bukan pada ketidaktahuan, melainkan belum adanya kemauan dari pemerintah pusat untuk mengadopsi peraturan yang baik di bidang investasi. Sangat boleh jadi, berbagai regulasi yang ada sekarang ini hanya menguntungkan pihak tertentu disebabkan oleh tingginya kepentingan para pengambil keputusan.
Pada awal 1990-an, Indonesia digolongkan dalam satu gerbong dengan Malaysia dan Thailand sebagai negara berkembang yang segera menjadi negara industri baru. Namun, pada awal 2000-an, Indonesia sudah dipindahkan ke gerbong lain bersama Vietnam dan Myanmar. Kini, Myanmar dan Vietnam lebih menarik minat pemodal asing ketimbang Indonesia. Tiada solusi lain untuk membuka lapangan pekerjaan selain memperbaiki iklim investasi. Hanya dengan iklim investasi yang kondusif, para investor, baik dari dalam dan luar negeri, berani menanamkan modalnya.
Lebih lanjut apabila kita melihat kondisi investasi di Indonesia, khususnya setelah diberlakukannya otonomi daerah adalah seperti yang digambarkan pada gambar berikut:
Terlihat bahwa terdapat trend yang sama baik investasi domestik dan asing (PMDN dan PMA). Setelah terjadinya krisis di tahun 1997, PMA dan PMDN mengalami penurunan yang cukup drastis. PMA jatuh dari posisi 33.788,8 juta dolar AS di 1997 ke 10.884,5 juta dolar AS di tahun 1999.
Setelah pemilu tahun 1999, investasi kembali meningkat. Namun, baik PMA maupun PMDN kembali mengalami penurunan yang cukup drastis pada tahun 2001 dan 2002 yang bersamaan dengan dimulai diterapkannya otonomi daerah. Walaupun terjadi kenaikan di tahun 2003, trend penurunan tingkat investasi selama periode di atas menjadi dasar pemerintah untuk mengambil langkah sebagaimana dinyatakan dalam Keppres No. 29 tahun 2004. Walaupun demikian, banyak praktisi ekonomi serta pengamat yang menganggap tindakan pemerintah sudah terlambat, dimana Indonesia sudah terlanjur kehilangan momentum. Sudah cukup banyak investor yang menutup dan memindahkan usahanya ke negara lain karena tidak cukup kondusifnya iklim investasi di Indonesia.
Sebenarnya terdapat sebagian kabupaten/kota yang telah memiliki iklim investasi yang kondusif. Seperti ulasan dalam majalah Swa, pembentukan Kantor Pelayanan Satu Atap (KPSA) bukan merupakan hal baru bagi pemerintah kabupaten Jepara. Bahkan Bupatinya menjamin surat perizinan usaha dapat diperoleh dalam waktu 5-7 hari. Selain itu, untuk mendorong majunya usaha ekspor produk mebel di luar negeri, pemerintahnya juga menelurkan kebijakan bebas pajak (tax holiday) bagi para investor di daerah tertentu. Demikian halnya dengan Pemda Kota Yogyakarta. Pendirian Unit Pelayanan Satu Atap telah berhasil memangkas birokrasi sehingga perizinan investasi baru di kota ini menjadi mudah.
Pembangunan fasilitas penunjang seperti terminal juga merupakan nilai plus di mata investor untuk pengembangan usaha. Tidak ketinggalan dengan Pemda Kabupaten Lamongan. Kebijakan diarahkan kepada perbaikan iklim investasi dalam menekankan kecepatan layanan, perizinan usaha, dan insentif bagi para pengusaha, juga pembangunan prasarana jalan.
Masih banyak daerah lain seperti Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur yang proaktif mengembangkan potensi SDM dan usaha agro industri walaupun daerahnya kaya Sumber Daya Alam (SDA), kabupaten Kebumen yang menekankan good governance, kabupaten Bekasi yang memanfaatkan peluang ekonomi dari Jakarta, kabupaten Sumedang yang terus membenahi tata ruangnya, kota Semarang yang mengedepankan efisiensi perijinan usaha, serta beberapa kabupaten/kota lainnya yang pemerintah daerahnya sangat concern dalam menarik investor untuk menanamkan modal di daerahnya.
IV. Kesimpulan
Kepastian hukum menjadi kunci bagi masuknya investasi di daerah. Apalagi pada era otonomi daerah sekarang ini menjadi momentum bagi daerah untuk membuktikan diri bahwa daerah juga memiliki kemampuan dalam mengelola daerahnya secara mandiri. Namun yang patut menjadi perhatian adalah faktor-faktor antara lain:
1. Masih kuatnya sentralisasi perijinan di pusat dan belum jelas kewenangan pembagian porsi investasi di daerah
2. Lemahnya pengawasan aparat penegak hukum di pusat terhadap aparaturnya di daerah.
3. Belum adanya indikator untuk memonitor iklim investasi di Indonesia, misalnya terkait masalah: perpajakan, kepabeanan, infrastruktur, regulasi ketenagakerjaan, dan perijinan menjadi kendala utama dalam melakukan investasi di Indonesia
4. Tidak adanya kejelasan prosedural mengenai investasi. Hal ini terkait dengan tingginya biaya di luar pajak dan pungutan-pungutan tidak resmi yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum.
5. Keppres No. 29 tahun 2004 mengenai Penyelenggaraan penanaman modal (PMDN/PMA) melalui sistem pelayanan satu atap. Namun berdasarkan penelitian LPEM UI rata-rata pengurusan perijinan di atas ketentuan pokok, yaitu PMDN/PMA memerlukan waktu pengurusan ijin 50 hari padahal ketetapannya hanya 10 hari.
6. Belum adanya payung hukum yang pasti (misalnya: RUU Mineral & Batu Bara menyerahkan izin pertambangan kepada pemerintah daerah. Sedangkan RUU Penanaman Modal, justru membatasi investasi yang bisa dikelola oleh daerah
7. Pembatasan investasi yang diusulkan dalam RUU Penanaman Modal bertentangan dengan asas desentralisasi.
8. Belum adanya ukuran investasi yang bisa ditangani oleh pemerintah daerah.
Rekomendasi
- Pemerintah pusat segera mungkin melakukan sinkronisasi regulasi (payung hukum) untuk menghindari adanya tumpang tindih peraturan.
- Mendesak kepada pemerintah pusat untuk memberikan kejelasan pembagian wewenang dan ukuran investasi yang berhak dikelola oleh daerah dan yang menjadi wewenang pemerintah pusat.
- Adanya satu kesatuan penafsiran dalam pelaksanaan peraturan di daerah.
- Koordinasi antara aparatur penegak hukum di pusat dan di daerah
- Mendesak segera mungkin kepada DPR untuk mengkaji RUU Penanaman Modal yang akan menjadi payung bagi seluruh investasi.
- Dan yang paling penting adalah memberantas adanya oknum penegak hukum yang mencari-cari kesalahan berupa celah-celah kelemahan payung hukum yang belum pasti. Tujuannya adalah untuk menjebak dan memeras investor dan instansi-instansi yang terkait.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home