Tanpa Kedaulatan Ekonomi, Quo Vadis MDGs
Indonesia sudah berusia genap 60 tahun. Ibarat usia manusia, perjalanan panjang sudah ditempuh untuk menguatkan entitas kebangsaan dalam bentuk kesatuan politik bernama Indonesia. Wacana tentang nasionalisme pun banyak pergeseran, disesuaikan dengan konteks kekinian. Demikian juga dengan pencapaian sebagai sebuah bangsa berdaulat. Kedaulatan merupakan kata kunci yang tidak dapat ditawar untuk menerjemahkan Indonesia dalam konteks globalisasi neoliberal. Sejauh mana kedaulatan masih disandang Indonesia menjadi pertanyaan pokok yang perlu dipikirkan dan diemban SBY-Kalla dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional Indonesia.
Tulisan ini mengupas kebijakan SBY-Kalla dalam tataran pragmatis dengan konteks globalisasi yang dikaitkan dengan komitmen internasional untuk mengurangi kemiskinan global hingga tahun 2015. Komitmen internasional yang ditecuskan oleh Sekjen PBB, Kofie Annan, mengawali milenium baru yaitu komitmen untuk mengurangi kemiskinan dunia hingga 50 persen hingga tahun 2015, atau seringkali dinamakan Millennium Development Goals (MDGs). Ada 8 goals yang dirumuskan yaitu: (1) menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar secara universal; (3) mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; (4) mengurangi tingkat kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; (7) menjamin keberkelanjutan lingkungan; (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Globalisasi neoliberal dinisbahkan sebagai pemenang tunggal atas pertarungan ideologi. Mengutip pemikiran Revrisond Baswir, menyatakan bahwa gagasan neoliberal dapat ditarik dalam satu benang merah yang berujung pada kebebasan pasar (free trade). Jadi, bilamana membicarakan globalisasi tidak dapat dipisahkan dalam kerangka pasar bebas, yang diusung oleh negara maju, dengan menggunakan dalil demokrasi ekonomi untuk melakukan penetrasi pasar di negara berkembang. Secara rinci ada beberapa karakter dari neoliberal yaitu: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar, (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang. (Revrisond Baswir:Bahaya Globalisasi).
Implementasi kebijakan nasional untuk menanggulangi kemiskinan yang tercermin dari kebijakan yang berpihak kepada rakyat menjadi ujian. Banyak tumpuan harapan masyarakat ketika SBY naik menjadi presiden sebagai hasil dari sistem pemilihan langsung. Namun publik kecewa ketika melihat formasi kabinet SBY yang banyak diisi oleh personal yang sangat dekat dengan ideologi neoliberal. Dan memang dalam perjalanannya terbukti bahwa oligarki bisnis yang memegang kekuasaan politik akhirnya lebih mewarnai kebijakan-kebijakan yang ditelurkan oleh Kabinet Indonesia Bersatu. Kasus privatisasi Indosat mengawali dekatnya kebijakan SBY-Kalla dengan kelompok pemilik modal. Indosat sebagai bisnis strategis yang dulu dimiliki negara (BUMN) kini dikuasai oleh Singapura, dengan mengendarai perusahaan multinasional yang bernama Temasek. Belum lagi diloloskannya UU Sumberdaya Air yang sangat pro-pasar sudah melengkapi nafas kebijakan ekonomi SBY-Kalla yang berwatak neoliberal. Privatisasi-privatisasi BUMN yang lainnya bakal menyusul dan hanya menunggu waktu saja.
Fair Trade Poros Pencapaian MDGs
Perlu ditekankan bahwa pencapaian MDGs tersebut berporos pada keberhasilan goals ke-8 yaitu mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Artinya, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dari mengedepankan pasar bebas (free trade) menjadi fair trade (perdagangan yang adil). Tanpa ditegakkannya perdagangan yang lebih adil, semua goals tersebut hanya akan menjadi mimpi belaka. Justru kerangka multilateral (WTO) yang ada sekarang ini tidak mengadopsi kepentingan negara miskin dan berkembang, dan hanya menjadi alat negara maju untuk memperluas pasar belaka. Pada akhirnya kedaulatan kita tergadai secara harfiah. Negara tidak lagi memiliki kuasa untuk menentukan kebijakan secara mandiri. Kuatnya korporasi internasional memberi corak kental dalam kebijakan ekonomi SBY-Kalla.
Kemudian apa relevansinya dengan komitmen untuk pengurangan kemiskinan? Bilamana ditarik dari logika awalnya, ideologi neoliberal selalu berpegang bahwa mekanisme pasar akan senantiasa menemukan efisiensi, dan negara tidak boleh campur tangan atas jalannya mekanisme pasar. Bisa jadi memang logika tersebut benar dalam satu sisi, namun ada satu kutub yang tidak mampu ditangani oleh ideologi neoliberal, yaitu perlindungan bagi pihak yang kalah yang menjadi ranah negara untuk melakukan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar dan juga hajat hidup rakyat.
Data dari Human Development Report tahun 2004, banyak negara berkembang dan miskin yang masyarakatnya belum sepenuhnya bisa mendapatkan akses atas obat-obatan secara mendasar. Ambil contohnya, potret yang terjadi di beberapa negara seperti: Rwanda, Malawi, Chad, Angola, Haiti, Nepal, India dan Sudan, sekitar 50 persen masyarakatnya belum mampu mengakses obat-obatan. Pada saat yang sama tingkat prevalensi dari atas penyakit malaria, tuberkulosa tergolong tinggi. Ghana misalnya prevalensi masyarakat yang terkena malaria sebanyak 15344 per 100 ribu jiwa penduduk, Yaman sebanyak 15 160 penderita dan Guinea sebanyak 75 386 per 100 ribu penduduk. India, terdapat 344 penderita TBC dari 100 ribu penduduk; Pakistan 379 penderita; Indonesia 609 penderita.
Gambaran serupa juga terjadi pada anak-anak di dunia. Setiap tahun sekitar 11 juta anak-anak di negara berkembang dan miskin terpaksa meninggal karena penyakit yang sebenarnya bisa di cegah. Tapi, ketiadaan akses obat dan vaksinasi membuat jutaan nyawa hilang.
Quo Vadis MDGs
Menilik dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia, pesimisme akan muncul untuk mewujudkan pengurangan kemiskinan hingga tahun 2015. Tidak ada satu kebijakan pun yang berpihak terhadap rakyat secara keseluruhan, kecuali hanya melestarikan oligarki bisnis yang sekarang ini juga memegang kekuasaan politik. Publik pun akhirnya mafhrum, karena personal yang duduk dalam pemerintahan SBY merupakan orang-orang yang terdidik dengan logika-logika neoliberal untuk mengentaskan berbagai persoalan ekonomi. Sebut saja misalnya, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Menteri Perdagangan, Mari E. Pangestu, yang makin merapatkan posisi Indonesia dalam pusaran globalisasi neoliberal.
Berbagai agreement internasional dibuat untuk memuluskan investasi di Indonesia, dengan difasilitasi berbagai deregulasi kebijakan yang pada intinya adalah meliberalisasi berbagai sektor, tak terkecuali sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti halnya kesehatan publik dan pendidikan. Sektor pertanian pun tak luput dari skenario liberalisasi, sesuai dengan komitmen kita di WTO (AoA- Agreeement of Agriculture). Padahal pangan merupakan hajat hidup rakyat dan seharusnya ditarik dari WTO karena hal tersebut bukan komoditas yang diperdagangkan sebelum kita mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan nasional. Pembukaan impor beras dan gula menjadi pelajaran penting dengan dibanjirinya beras dari Vietnam, dan membuat petani kita dirugikan. Walaupun sudah dicetuskan Kebijakan Retrukturisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, namun hingga sekarang hanya lip service saja belum ada strategis menyeluruh untuk mengentaskan hidup para petani dan menjaga kedaulatan pangan kita.
Sosialisasi MDGs di Indonesia yang banyak disuarakan oleh kalangan civil society juga belum mampu menerjemahkan isu tersebut dalam bahasa keseharian sehingga isu ini akrab. Pertemuan MDGs se-Asia Pasifik di Jakarta beberapa bulan lalu juga hanya mencerminkan bahwa isu sarat dengan seremoni. Sedangkan realisasi dari pencapaian pengentasan kemiskinan bak menggantang asap saja. Hingga sekarang ini belum ada satu pun kebijakan strategis untuk memberantas kemiskinan di Indonesia. Menurut pemaparan, Pos Hutabarat, di “Forum APEC dan Indonesia di Persimpangan Jalan,” menyinggung tentang MDGs, bahwa Indonesia sudah berhasil mengurangi kemiskinan dengan tingkat konsumsi per hari minimal 1 dolar AS sebagai ukuran. Dan pencapaian itu sudah terjadi dua tahun lalu. Benarkah hal itu sudah terekam dalam fakta di masyarakat? Sepertinya dengan kacamata awam, tanpa hitungan rumit pun akan mengatakan hal tersebut hanya isapan jempol. Awal tahun ini saja, pemberitaan media di warnai dengan berbagai kasus busung lapar. Belum lagi gagalnya pemerintah melayani kebutuhan atas kesehatan dasar masyarakat yang tercermin dari merebaknya kasus busung lapar. Tidak ada banyak perubahan besar dari Kabinet Indonesia Bersatu dan komitmen pengentasan kemiskinan hanya menjadi mimpi indah di siang hari.
Penulis adalah peneliti dari Institute for Global Justice, dapat dihubungi di wawan@globaljust.org, www.wawanfahrudin.blogspot.com
1 Comments:
saya sedang mengerjakan penelitian tentang hubungan mdgs dan neo liberalisme. bisakah bapak membantu saya. kalau bisa direspon saja ke e-mail saya di gmnurlintang@yahoo.co.id
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home