Friday, August 26, 2005

Menilik "Wajah" Pemerintahan SBY-Kalla dalam Privatisasi BUMN

60 tahun Indonesia merdeka menimbulkan tanda tanya besar akan pencapaian-pencapaian sebagai sebuah bangsa berdaulat. Berdaulat merupakan kata kunci yang menunjukkan eksistensi negara sebagai satu entitas politik. Wajar kiranya bilamana kita mengkaji apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahan SBY-Kalla untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia merupakan bangsa bermatabat dan berdaulat. Dan privatisasi BUMN yang marak dilakukan, tidak hanya pada saat pemerintah SBY-Kalla, namun juga Megawati sebelumnya telah meragukan kita semua bahwa Indonesia masih memiliki kedaulatan.


Duet kepemimpinan SBY-Kalla menaburkan optimisme, tatkala berhasil memenangkan pemilu tahun 2004. Bukan tanpa dasar memang, karena naiknya SBY-Kalla hasil dari pemilu langsung yang pertama kali di Indonesia. Harapan-harapan masyarakat pun membuncah, dengan menyandarkan kepada pundak keduanya untuk membawa Indonesia keluar dari krisis multidimensi. Dan publik mulai berpihak tatkala kedua pasangan ini melakukan gebrakan dengan menjerat pelaku-pelaku korupsi, yang dimulai dari kasus penyelewengan dana pemilu oleh para anggota KPU.


Bagaimana menilik karakter pemerintahan SBY-Kalla dari sudut pandang pro-rakyat atau tidak menjadi persoalan lain yang patut dicermati dan patut menimbulkan pesimisme. Logika-logika neoliberal sangat kental dalam pemerintahan SBY-Kalla. Bahkan sinyalemen Baswir 1 yang dari awal optimis menilik desertasi SBY, makin pupus tatkala SBY menempatkan figur-figur yang memiliki karakter neoliberal. Benar kiranya, setelah berjalan selama satu tahun, banyak kebijakan yang berpihak terhadap pelaku bisnis dan menjadi karakter utama wajah pemerintah SBY-Kalla. Publik pun akhirnya mafhrum, karena personal yang duduk dalam pemerintahan SBY merupakan orang-orang yang terdidik dengan logika-logika neoliberal untuk mengentaskan berbagai persoalan ekonomi. Sebut saja misalnya, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Menteri Perdagangan, Mari E. Pangestu, yang makin merapatkan posisi Indonesia dalam pusaran globalisasi neoliberal. Berbagai agreement internasional ditetapkan dibuat untuk memuluskan investasi di Indonesia, dengan difasilitasi berbagai deregulasi kebijakan yang pada intinya adalah meliberalisasi berbagai sektor, tak terkecuali sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti halnya kesehatan publik dan pendidikan. Sektor pertanian pun tak luput dari skenario liberalisasi, sesuai dengan komitmen kita di WTO (AoA- Agreeement of Agriculture). Padahal pangan merupakan hajat hidup rakyat dan seharusnya ditarik dari WTO karena hal tersebut bukan komoditas yang diperdagangkan sebelum kita mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan nasional. Pembukaan impor beras dan gula menjadi pelajaran penting dengan dibanjirinya beras dari Vietnam, dan membuat petani kita dirugikan. Walaupun sudah dicetuskan kebijakan retrukturisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan, namun hingga sekarang hanya lip service saja.


Lolosnya UU Sumberdaya Air juga dapat dicermati dari alur pemikiran neoliberal. Ditolaknya UU Sumberdaya air oleh MK (Mahkamah Konstitusi) menjadi cermin untuk memuluskan jalan bagi investor asing untuk menanamkan modal di sektor strategis yang seharusnya dilindungi negara. Tidak berbeda dengan Menteri Koordinator Ekonomi, yang dikomandani oleh Aburizal Bakri, yang sebelum menjadi menteri merupakan konglomerat bisnis di Indonesia. Kepentingan oligarkhi bisnis akhirnya menjadi prioritas kebijakan Kabinet Indonesia Bersatu. Sosok Jusuf Kalla yang memegang posisi sentral yang mengendalikan kemudi kekuasaan juga makin melengkapi karakter-karakter kebijakan elitis yang dibangun oleh rezim SBY. Seluruh lobi-lobi di lembaga keuangan internasional juga dilakukan Sri Mulyani, mantan pejabat IMF yang juga memegang jabatan ketua Bappenas, yang kita ketahui bersama merupakan badan yang menyusun langkah-langkah strategis pembangunan nasional. Ibarat masakan, bumbu neoliberal sudah lengkap diracik oleh pemerintah SBY, dan disajikan ke seluruh rakyat Indonesia sekarang ini.


Implikasi yang kemudian ditanggung oleh rakyat Indonesia dapat dirasakan sekarang. Privatisasi menjadi kata kunci untuk menjalankan ideologi neoliberal. Hal ini disebabkan aktor-aktor yang berperan penting dalam idelogi tersebut adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Asumsi yang digunakan adalah pasar akan menemukan mekanisme keseimbangan (balancing of market) tanpa/ tidak melalui intervensi pemerintah. Jadi sudah jelas bahwa logika efisiensi akan dijadikan alat untuk mengharamkan campur negara. Padahal pasar tidak pernah sempurna dan pasti akan menimbulkan the winner and the looser, maka negara seharusnya menjadi buffering untuk senantiasa melindungi the looser. Karakter keberpihakan kepada rakyat tidak tercermin dari pemerintahan SBY sekarang ini.


Para aktivis dan kalangan civil society menilai bahwa neoliberalisme tidak lain hanya metamorphosis dari bentuk penjajahan fisik yang dilakukan negara maju menjadi hegemoni ekonomi. Bentuk-bentuk penjajahan baru/neoliberalisme dalam kebijakan-kebijakan seperti:2


1.Penghapusan Subsidi untuk rakyat (Subsidi Pendidikan, Kesehatan, BBM, Listrik, Air, dll)
2.Privatisasi BUMN & BUMD (Indosat, Mandiri, Pertamina, Telkom, PT DI, PDAM/PAM dll)
3.Komersialisasi pendidikan dan kesehatan (UU Sisdiknas dan RUU Kesehatan)
4.Liberalisasi perdagangan (WTO)
5.Liberalisasi energi dan sumber daya alam dll (UU Migas 22/2001, UU Privatisasi Air no. 7/2001, Perpres 36/2005, dll)


Konstitusi sudah mengamatkan bahwa seluruh sektor yang berkait dengan hajat orang banyak menjadi kewajiban negara untuk melakukan proteksi, namun tidak demikian halnya dalam realitas. Pola pikir neoliberal ini juga menurut kepada pilihan-lihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah SBY. Misalnya saja dalam kasus privatisasi BUMN, logika yang dgunakan adalah besarnya penerimaan pajak dari sektor tersebut. Bilamana BUMN sudah diprivatisasi, tanpa mempertimbangkan jangka panjang, pelan namun pasti kita akan menjadi bangsa paria karena seluruh sektor-sektor strategis dikuasai oleh asing. Dalam kasus privatisasi Indosat misalnya, BUMN Singapura STT membeli Indosat melalui perusahaan yang didirikan secara dadakan yakni Indonesia Communication Limited (ICL). Badan hukum ICL bukan Indonesia tapi Mauritius, yakni salah satu di antara 34 negara kecil di dunia yang menjadi surga perusahaan-perusahaan transnasional untuk menghindari pajak di negara asalnya atau negara tempat operasi perusahaan-perusahaan multinasional tersebut (offshore financial centers). Penjualan saham BUMN baik sebagian atau 100% juga akan mereduksi kekuatan kontrol pemerintah terhadap BUMN yang bersangkutan. Juga pasti akan mengurangi pendapatan pemerintah dari deviden yang selanjutnya membuat APBN kehilangan sumber penghasilan.


Mengamati berbagai skenario yang dijalankan oleh pemerintahan SBY-Kalla makin meyakinkan kita semua bahwa ujung pencapaian sebagai sebuah bangsa yaitu kedaulatan Indonesia sudah berada di ujung tanduk.


Penulis: Wawan Fahrudin, Peneliti dari Institute for Global Justice, dapat dihubungi di wawan@globaljust.org, www.wawanfahrudin.blogspot.com



Tanpa Kedaulatan Ekonomi, Quo Vadis MDGs

Indonesia sudah berusia genap 60 tahun. Ibarat usia manusia, perjalanan panjang sudah ditempuh untuk menguatkan entitas kebangsaan dalam bentuk kesatuan politik bernama Indonesia. Wacana tentang nasionalisme pun banyak pergeseran, disesuaikan dengan konteks kekinian. Demikian juga dengan pencapaian sebagai sebuah bangsa berdaulat. Kedaulatan merupakan kata kunci yang tidak dapat ditawar untuk menerjemahkan Indonesia dalam konteks globalisasi neoliberal. Sejauh mana kedaulatan masih disandang Indonesia menjadi pertanyaan pokok yang perlu dipikirkan dan diemban SBY-Kalla dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada kepentingan nasional Indonesia.

Tulisan ini mengupas kebijakan SBY-Kalla dalam tataran pragmatis dengan konteks globalisasi yang dikaitkan dengan komitmen internasional untuk mengurangi kemiskinan global hingga tahun 2015. Komitmen internasional yang ditecuskan oleh Sekjen PBB, Kofie Annan, mengawali milenium baru yaitu komitmen untuk mengurangi kemiskinan dunia hingga 50 persen hingga tahun 2015, atau seringkali dinamakan Millennium Development Goals (MDGs). Ada 8 goals yang dirumuskan yaitu: (1) menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar secara universal; (3) mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan; (4) mengurangi tingkat kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya; (7) menjamin keberkelanjutan lingkungan; (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.

Globalisasi neoliberal dinisbahkan sebagai pemenang tunggal atas pertarungan ideologi. Mengutip pemikiran Revrisond Baswir, menyatakan bahwa gagasan neoliberal dapat ditarik dalam satu benang merah yang berujung pada kebebasan pasar (free trade). Jadi, bilamana membicarakan globalisasi tidak dapat dipisahkan dalam kerangka pasar bebas, yang diusung oleh negara maju, dengan menggunakan dalil demokrasi ekonomi untuk melakukan penetrasi pasar di negara berkembang. Secara rinci ada beberapa karakter dari neoliberal yaitu: (1) tujuan utama ekonomi neoliberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar, (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan undang-undang. (Revrisond Baswir:Bahaya Globalisasi).

Implementasi kebijakan nasional untuk menanggulangi kemiskinan yang tercermin dari kebijakan yang berpihak kepada rakyat menjadi ujian. Banyak tumpuan harapan masyarakat ketika SBY naik menjadi presiden sebagai hasil dari sistem pemilihan langsung. Namun publik kecewa ketika melihat formasi kabinet SBY yang banyak diisi oleh personal yang sangat dekat dengan ideologi neoliberal. Dan memang dalam perjalanannya terbukti bahwa oligarki bisnis yang memegang kekuasaan politik akhirnya lebih mewarnai kebijakan-kebijakan yang ditelurkan oleh Kabinet Indonesia Bersatu. Kasus privatisasi Indosat mengawali dekatnya kebijakan SBY-Kalla dengan kelompok pemilik modal. Indosat sebagai bisnis strategis yang dulu dimiliki negara (BUMN) kini dikuasai oleh Singapura, dengan mengendarai perusahaan multinasional yang bernama Temasek. Belum lagi diloloskannya UU Sumberdaya Air yang sangat pro-pasar sudah melengkapi nafas kebijakan ekonomi SBY-Kalla yang berwatak neoliberal. Privatisasi-privatisasi BUMN yang lainnya bakal menyusul dan hanya menunggu waktu saja.

Fair Trade Poros Pencapaian MDGs

Perlu ditekankan bahwa pencapaian MDGs tersebut berporos pada keberhasilan goals ke-8 yaitu mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Artinya, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dari mengedepankan pasar bebas (free trade) menjadi fair trade (perdagangan yang adil). Tanpa ditegakkannya perdagangan yang lebih adil, semua goals tersebut hanya akan menjadi mimpi belaka. Justru kerangka multilateral (WTO) yang ada sekarang ini tidak mengadopsi kepentingan negara miskin dan berkembang, dan hanya menjadi alat negara maju untuk memperluas pasar belaka. Pada akhirnya kedaulatan kita tergadai secara harfiah. Negara tidak lagi memiliki kuasa untuk menentukan kebijakan secara mandiri. Kuatnya korporasi internasional memberi corak kental dalam kebijakan ekonomi SBY-Kalla.

Kemudian apa relevansinya dengan komitmen untuk pengurangan kemiskinan? Bilamana ditarik dari logika awalnya, ideologi neoliberal selalu berpegang bahwa mekanisme pasar akan senantiasa menemukan efisiensi, dan negara tidak boleh campur tangan atas jalannya mekanisme pasar. Bisa jadi memang logika tersebut benar dalam satu sisi, namun ada satu kutub yang tidak mampu ditangani oleh ideologi neoliberal, yaitu perlindungan bagi pihak yang kalah yang menjadi ranah negara untuk melakukan perlindungan dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar dan juga hajat hidup rakyat.

Data dari Human Development Report tahun 2004, banyak negara berkembang dan miskin yang masyarakatnya belum sepenuhnya bisa mendapatkan akses atas obat-obatan secara mendasar. Ambil contohnya, potret yang terjadi di beberapa negara seperti: Rwanda, Malawi, Chad, Angola, Haiti, Nepal, India dan Sudan, sekitar 50 persen masyarakatnya belum mampu mengakses obat-obatan. Pada saat yang sama tingkat prevalensi dari atas penyakit malaria, tuberkulosa tergolong tinggi. Ghana misalnya prevalensi masyarakat yang terkena malaria sebanyak 15344 per 100 ribu jiwa penduduk, Yaman sebanyak 15 160 penderita dan Guinea sebanyak 75 386 per 100 ribu penduduk. India, terdapat 344 penderita TBC dari 100 ribu penduduk; Pakistan 379 penderita; Indonesia 609 penderita.

Gambaran serupa juga terjadi pada anak-anak di dunia. Setiap tahun sekitar 11 juta anak-anak di negara berkembang dan miskin terpaksa meninggal karena penyakit yang sebenarnya bisa di cegah. Tapi, ketiadaan akses obat dan vaksinasi membuat jutaan nyawa hilang.

Quo Vadis MDGs

Menilik dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia, pesimisme akan muncul untuk mewujudkan pengurangan kemiskinan hingga tahun 2015. Tidak ada satu kebijakan pun yang berpihak terhadap rakyat secara keseluruhan, kecuali hanya melestarikan oligarki bisnis yang sekarang ini juga memegang kekuasaan politik. Publik pun akhirnya mafhrum, karena personal yang duduk dalam pemerintahan SBY merupakan orang-orang yang terdidik dengan logika-logika neoliberal untuk mengentaskan berbagai persoalan ekonomi. Sebut saja misalnya, kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Menteri Perdagangan, Mari E. Pangestu, yang makin merapatkan posisi Indonesia dalam pusaran globalisasi neoliberal.

Berbagai agreement internasional dibuat untuk memuluskan investasi di Indonesia, dengan difasilitasi berbagai deregulasi kebijakan yang pada intinya adalah meliberalisasi berbagai sektor, tak terkecuali sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti halnya kesehatan publik dan pendidikan. Sektor pertanian pun tak luput dari skenario liberalisasi, sesuai dengan komitmen kita di WTO (AoA- Agreeement of Agriculture). Padahal pangan merupakan hajat hidup rakyat dan seharusnya ditarik dari WTO karena hal tersebut bukan komoditas yang diperdagangkan sebelum kita mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan nasional. Pembukaan impor beras dan gula menjadi pelajaran penting dengan dibanjirinya beras dari Vietnam, dan membuat petani kita dirugikan. Walaupun sudah dicetuskan Kebijakan Retrukturisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, namun hingga sekarang hanya lip service saja belum ada strategis menyeluruh untuk mengentaskan hidup para petani dan menjaga kedaulatan pangan kita.

Sosialisasi MDGs di Indonesia yang banyak disuarakan oleh kalangan civil society juga belum mampu menerjemahkan isu tersebut dalam bahasa keseharian sehingga isu ini akrab. Pertemuan MDGs se-Asia Pasifik di Jakarta beberapa bulan lalu juga hanya mencerminkan bahwa isu sarat dengan seremoni. Sedangkan realisasi dari pencapaian pengentasan kemiskinan bak menggantang asap saja. Hingga sekarang ini belum ada satu pun kebijakan strategis untuk memberantas kemiskinan di Indonesia. Menurut pemaparan, Pos Hutabarat, di “Forum APEC dan Indonesia di Persimpangan Jalan,” menyinggung tentang MDGs, bahwa Indonesia sudah berhasil mengurangi kemiskinan dengan tingkat konsumsi per hari minimal 1 dolar AS sebagai ukuran. Dan pencapaian itu sudah terjadi dua tahun lalu. Benarkah hal itu sudah terekam dalam fakta di masyarakat? Sepertinya dengan kacamata awam, tanpa hitungan rumit pun akan mengatakan hal tersebut hanya isapan jempol. Awal tahun ini saja, pemberitaan media di warnai dengan berbagai kasus busung lapar. Belum lagi gagalnya pemerintah melayani kebutuhan atas kesehatan dasar masyarakat yang tercermin dari merebaknya kasus busung lapar. Tidak ada banyak perubahan besar dari Kabinet Indonesia Bersatu dan komitmen pengentasan kemiskinan hanya menjadi mimpi indah di siang hari.

Penulis adalah peneliti dari Institute for Global Justice, dapat dihubungi di wawan@globaljust.org, www.wawanfahrudin.blogspot.com