Tuesday, July 19, 2005

Penyelesaian Kemiskinan ala Neoliberal

10 Mei 2005, Media Indonesia

KEMISKINAN masih menjadi masalah pelik yang belum terurai secara tuntas. Masih segar dalam ingatan kolektif kita ancaman kelaparan di Kabupaten Lembata, NTT, pertengahan Maret 2005. Potret kemiskinan kembali terpapar melalui percobaan bunuh diri seorang siswa karena tidak mampu membayar SPP, dan seorang kakak yang berupaya mengakhiri hidupnya karena tidak mampu menanggung biaya sekolah adik-adiknya.

Fakta tersebut makin mengukuhkan bahwa ada kesalahan struktural dalam menempatkan rel pembangunan kita sehingga persoalan pemberantasan kemiskinan yang seharusnya menjadi prioritas justru menunjukkan setback setara dengan dua dasawarsa ke belakang.

Peta kemiskinan tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun hampir sebagian besar negara yang terbentang dari Asia hingga Afrika, atau sering kali disebut dengan negara Dunia Ketiga. Secara umum, potret dunia sekarang ini masih didominasi oleh kemiskinan struktural, kelaparan, penyakit, utang luar negeri, kerusakan lingkungan.

Solusi yang ditawarkan adalah dengan menghimpun dana dari negara-negara kaya melalui penyisihan 50 sen dari tiap 100 dolar pendapatannya untuk membantu warga dunia paling miskin.

Melihat kemiskinan yang masih menjadi momok dalam milenium ke-2 peradaban manusia ini patut menjadi perhatian dunia untuk memberantasnya. Oleh karena itulah, dibutuhkan moral duty dari negara-negara kaya untuk bersama-sama mendukung program PBB tersebut dengan langkah-langkah konkret agar tidak hanya sekadar utopia.

Kemiskinan bukan hanya terkait dengan per individu, namun secara menyeluruh merupakan masalah kelembagaan. Masalah struktural yang terlingkup di dalam masyarakat miskin, antara lain ketidakadilan penguasaan alat produksi, terutama tanah, kualitas SDM, subsidi, akses memperoleh kredit, dan ketidakadilan pasar.

Sementara itu, mengacu pada sistem neoliberal yang direpresentasikan oleh IMF, World Bank, dan WTO senantiasa menawarkan formula restrukturisasi, privatisasi, kenaikan tarif utilitas publik, liberalisasi dan lain-lain yang notabene jauh dari berpihak pada upaya penanggulangan kemiskinan.

Logika-logika neoliberal yang bertumpu pada liberalisasi dengan logika efisiensi dan efektivitas masih menjadi jurus utama pemberantasan kemiskinan. Padahal pengalaman selama tiga dasawarsa lebih telah menunjukkan bahwa semenjak ekonomi Indonesia terintegrasi ke pasar internasional, dan diiringi derasnya utang luar negeri, tidak sedikit pun mengurangi kemiskinan.

Ekonom-ekonom neoliberal yang selalu berpatokan pada angka kuantitatif secara meyakinkan menunjukkan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang diyakini dapat menggambarkan volume industri dan perdagangan. Kenyataannya, meskipun angka-angka kuantitatif pertumbuhan ekonomi menunjukkan kemajuan, kelaparan meluas, kualitas kesehatan penduduk semakin rendah, dan angka kemiskinan semakin membengkak. Jadi, mimpi indah globalisasi akan membawa masyarakat miskin (khususnya Dunia Ketiga) ke arah kemakmuran, justru sebaliknya, kondisi kekurangan pangan, perumahan, dan kondisi kesehatan yang buruk menjadi realitas kehidupan sehari-hari.

Walaupun Indonesia sudah menandatangani Millennium Development Goal yang mengharuskan adanya penyiapan strategi pengentasan kemiskinan nasional, program yang dijalankan ternyata tidak pernah efektif dan tidak berkelanjutan. Penyebabnya tidak lain adalah pemberantasan kemiskinan hanya dilihat secara parsial, dari gejalanya, bukan akar permasalahan dan sebab-musababnya. Misalnya saja, program raskin (beras untuk masyarakat miskin) yang diberikan kepada masyarakat yang terkategori miskin. Perbaikan gedung sekolah untuk mengatasi persoalan pendidikan. Semua formula tersebut hanya memoles permukaan persoalan agar kelihatan bagus, namun tidak menyelesaikan persoalan sama sekali.

Sepanjang struktur ekonomi global masih tetap sepenuhnya dikendalikan kelompok negara kaya dan institusi-institusi pembangunan global, akan cenderung melegitimasi dan melestarikan struktur yang ada, kemajuan dan penyesuaian apa pun yang dicapai tidak akan banyak membantu dalam memberantas kemiskinan. Martin Khor (The Future of North-South Relations, Conflict or Cooperation, Third World Network 1992) menyatakan bahwa kemiskinan yang menimpa Dunia Ketiga tidak lepas dari pola hubungan negara Utara-Selatan yang sifatnya eksploitatif.

Dalam konteks multilateral, di dalam setiap agreement WTO, selalu didominasi oleh kepentingan negara maju. Sebut saja misalnya, isu pertanian yang tercakup dalam AoA (Agreement of Agricultural) yang berpotensi menyebabkan kerentanan bagi kerawanan pangan di tingkat global. Selain itu, WTO sendiri secara kelembagaan, sudah sangat meluas wewenangnya melintasi aspek perdagangan yang menjadi ranahnya. Sebagaimana terlihat dalam agreement TRIPs (Trade Related Intelectual Property Right) hanya membuat dominasi atas negara maju makin menguat. Ketentuan-ketentuan dalam TRIPs telah mengancam keanekaragaman hayati yang direduksir dalam skema-skema perdagangan yang tidak adil, sekaligus merusak bumi, dan ujungnya adalah pemiskinan global.

Sudah saatnya kita kembali berpikir untuk memaksimalkan sumber daya domestik. Dalam bidang pertanian kita memiliki keunggulan alamiah melalui pengembangan produk organik. Hanya saja, potensi tersebut belum dioptimalkan secara penuh walaupun pemerintah (Departemen Pertanian) telah mencanang Go Organic.

Momentum ini harus digunakan untuk mengembalikan kejayaan pertanian sekaligus menjaga kedaulatan pangan kita. Independensi ekonomi dengan optimalisasi sumber daya domestik dapat menjadi alternatif untuk melepaskan diri dari skema-skema global yang sudah terbukti tidak efektif. Pembangunan berbasis masyarakat dapat dijadikan alternatif pemecahan kemiskinan. Mengutip pendapat HS Dillon bahwa sudah saatnya kebijakan yang diambil, kelembagaan yang dibangun, teknologi yang dirakit, maupun yang dialihkan mesti didorong oleh kebutuhan dan kemampuan masyarakat.

Pola charity yang sering kali digunakan ekonom neoliberal dan diadopsi pemerintah sudah layaknya ditinggalkan. Masyarakat seharusnya diarahkan untuk mengembangkan kapasitasnya secara mandiri untuk mencapai kesejahteraan secara penuh. Mengembalikan kearifan lokal adalah pilihan tepat. Ketergantungan ekonomi dengan pasar internasional ternyata makin memiskinkan bukan memberikan solusi kesejahteraan. Bahkan akibat lebih jauh adalah telah merusak kearifan dan keanekaragaman adat. Masyarakat adat yang biasanya sudah memiliki mekanisme dalam mempertahankan diri, termasuk dalam menghindari kerawanan pangan menjadi tidak berdaya. Justru yang tercipta kemudian adalah ekonomi ketergantungan. Kemandirian ekonomi makin terkikis karena kita seluruhnya bergantung dari dinamika internasional yang kita ketahui bersama sangat rentan.***


Wawan Fahrudin, peneliti Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta

Menguji KAA dalam Pusaran Globalisasi Neoliberal

Kompas, 12 April 2005

PERTENGAHAN April 2005 akan diselenggarakan perhelatan besar. Benih demokrasi yang sudah lama terbenam digali kembali, yakni peringatan 50 tahun Konferensi Asia-Afrika di Bandung.
DI Bumi Sangkuriang tersebut, 50 tahun lalu pemimpin-pemimpin negara Asia dan Afrika merumuskan apa yang sekarang ini dikenal dengan Dasa Sila Bandung, cikal bakal gerakan nonblok (non-alignment movement) tahun 1960. Peringatan KAA setelah lima dasawarsa mengingatkan memori kolektif kita terhadap kota Bandung sebagai simbol perlawanan kolonialisme.

Selain peringatan KAA yang dipusatkan di Bandung, juga diadakan KAA Summit yang diadakan di Jakarta atas kerja sama Pemerintah RI dan Afrika Selatan yang mengundang 105 negara. Semangat yang dibangun dalam KAA 2005 adalah membentuk kemitraan strategis baru antara kawasan Asia dan Afrika yang bertumpu pada bidang politik, sosial budaya, dan ekonomi melalui kerja sama antarpemerintah, organisasi subregional, maupun antarmasyarakat.
Kerja sama Asia dan Afrika menjadi sangat relevan bilamana ditempatkan dalam konteks kekinian.

Secara geografis dan kesejarahan kelompok negara-negara yang tergabung dalam KAA memiliki kemiripan. Mereka semua merupakan negara-negara yang mengalami masa kolonialisme pada masa lalu. Selain itu, secara ekonomi negara-negara mayoritas dalam kategori terbelakang dan berkembang. Namun, yang patut mendapat acungan jempol adalah pendahulu mereka telah merumuskan tonggak sejarah yang berharga sebagai sikap yang antiterhadap segala bentuk kolonialisme dan imperialisme.

Berbicara mengenai KAA 1955 tidak pernah terlepas dari Dasa Sila Bandung. Komunike bersama ini merupakan sikap dari negara-negara Selatan tatkala merespons situasi dunia yang diliputi oleh perang dan penindasan. Kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam Dasa Sila Bandung tersebut jelas menempatkan negara-negara Asia dan Afrika dalam spektrum demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Dan nilai-nilai tersebut sangat relevan sekali dalam konteks kekinian yang mencerminkan semangat perdamaian, antipenindasan, saling menghormati, dan pengakuan atas kedaulatan bangsa dan negara.

Di tengah situasi dunia yang "tidak sehat" dengan dominasi Amerika Serikat menjadikan nilai-nilai Dasa Sila Bandung patut ditegakkan kembali. Latar belakang penetapan prinsip Bandung tersebut lebih berlandaskan suasana politik global kala itu. Seiring perubahan zaman, prinsip-prinsip tersebut walaupun masih relevan, namun harus diremajakan dengan memperkaya prinsip-prinsip terkait melalui kerja sama ekonomi, sosial, dan budaya di antara negara kawasan.

Lima tahun lalu, tepatnya tahun 1997, sebagian besar negara Asia terempas krisis ekonomi. Sebagian besar pihak mulai menyangsikan globalisasi neoliberalis yang menjanjikan kemakmuran dan kesejahteraan ternyata rentan.

Sistem keuangan internasional yang hanya dikuasai oleh segelintir spekulator telah menghancurkan pembangunan negara Asia dalam sekejap dan telah dirintis puluhan tahun.
Kemudian, datang "dokter" dari ekonom neoliberal menawarkan struktural adjusment program (SAP) yang pada intinya adalah mendorong privatisasi seluas-luasnya dan minimalisir peran pemerintah.

Motor-motor neoliberal, serupa Bank Dunia, IMF, dan WTO, efektif dalam memfasilitasi perusahaan multinasional untuk mencengkeram ekonomi negara dunia ketiga, yang berada di belahan selatan, Asia, dan Afrika.

Di tengah abad teknologi informasi bisa jadi memang tidak lagi relevan membicarakan perspektif ideologi dalam spektrum kiri atau kanan, namun bukan berarti pertarungan ideologi sudah usai.

Pascakeruntuhan rezim sosialis, Uni Sovyet 1990, besar kemungkinan solidaritas politik yang menjadi modal dalam menyatukan negara Asia dan Afrika makin terkikis. Apalagi China perlahan dan pasti juga mulai merapat dengan pusaran kapitalisme, ditandai dengan masuknya China dalam WTO tahun 2001.

Seiring masuknya China dalam organisasi perdagangan dunia tersebut, maka ekspansi pasar besar-besaran ke seluruh dunia, dan produk China membanjiri hampir semua negara di dunia. Tak ayal lagi, sebagian besar kalangan menilai bahwa sekarang ini adalah abad Asia dengan dimotori China dan India.

Kendala kerja sama Asia dan Afrika

Dunia sekarang ini sudah tidak lagi disatukan oleh ideologi-ideologi yang dapat menggerakkan dari perlawanan secara masif. Pragmatisme ekonomi lebih menjadi ikatan dalam menjalin kerja sama, baik dalam level bilateral maupun multilateral.
Hal ini menjadi kendala tersendiri bilamana dikaitkan dengan kerja sama Selatan-Selatan. Besar kemungkinan bahwa event KAA ini lebih banyak sisi romantika sejarahnya daripada mewujudkan satu kerja sama yang riil antarmasing-masing negara kawasan.
Kendala utama yang sering kali diungkapkan oleh para pengusaha, menjalin perdagangan dengan negara-negara Afrika adalah tidak sebanding antara cost yang dikeluarkan dan potensi pasarnya.

Hal itu juga diakui oleh Direktur Bilateral II Deddy Saleh yang mengungkapkan bahwa kebanyakan pengusaha Indonesia kurang tertarik karena terkendala ongkos pengapalan. Walaupun memiliki jarak yang relatif sama dengan negara-negara Eropa, namun dari ukuran potensial pasar Eropa jauh lebih besar.

Ketidakmampuan negara-negara di Asia dan Afrika dalam merapatkan barisan termasuk di dalamnya menyatukan berbagai kepentingan nasionalnya yang berbeda dan beragam hanya akan mengakibatkan semangat Bandung menjadi retorika politik belaka.
Lebih jauh, kegagalan negara-negara di Asia dan Afrika dalam menyatukan langkah ekonomi, sosial, dan politiknya hanya akan menjadikan berbagai forum kerja sama yang sudah terbentuk selama ini sebuah talk-shop baru dalam hubungan antarkawasan kontemporer.
Asia dan Afrika bukan hanya sekadar solidaritas

Agenda utama KAA 2005 adalah membahas dan kemudian meluncurkan Deklarasi Kemitraan Strategis Baru di Asia Afrika (NAASP).

Pada intinya, NAASP berisi uraian mengenai prinsip-prinsip dasar kemitraan strategis baru Asia dan Afrika, tujuan dan sasarannya, substansi kerja sama yang mencakup aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, dan mekanisme kerja sama selanjutnya, demikian dipaparkan Direktur Jenderal Urusan Asia, Pasifik, dan Afrika (Aspasaf), Departemen Luar Negeri, Herijanto Soeprapto.

Kemitraan strategis baru AA tersebut, lanjut Dirjen Aspasaf, akan difokuskan pada bentuk kerja sama konkret dan komplementer demi tercapainya perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di dua benua.

Untuk itu akan diupayakan penguatan kerja sama antar-organisasi-organisasi subregional dan regional di kedua benua untuk mengimplementasikan proyek-proyek kerja sama yang konkret.

Program-program konkret dalam unsur NAASP antara lain peningkatan sumber daya manusia dan kapasitasnya, memperkuat sistem perdagangan multilateral, meningkatkan kerja sama perdagangan, industri, investasi, dan keuangan. Kemitraan baru Asia dan Afrika tersebut akan terdiri dari tiga pilar, yaitu antarpemerintah, antarsubregional, dan antarmasyarakat.

Kendati pun secara politis kemitraan Asia-Afrika telah berlangsung sejak lama, yang ditandai oleh perjuangan bersama melawan kolonialisme yang termanifestasikan dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955, namun interaksi dua kawasan ini dapat dikatakan relatif masih sangat terbatas.

Oleh karena itu, upaya-upaya untuk terus meningkatkan derajat dan intensitas interaksi antardua kawasan ini merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan bersama. Nilai-nilai yang terkandung dalam Dasa Sila Bandung sebagai output strategis KAA seperti koeksistensi perdamaian, kerja sama dan persahabatan, serta penghormatan terhadap integritas teritorial dan pengakuan terhadap kesamaan ras tetap memiliki makna yang teramat penting dan kontekstual dalam interaksi regional dan global dewasa ini.
Kerja sama yang sudah terjalin antara negara-negara Asia dan Afrika dalam memerangi kolonialisme beberapa dekade lalu masih tetap diperlukan dan bahkan ditingkatkan untuk memerangi "musuh" masa kini berupa kolonialisme dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.

Dengan demikian, adalah sebuah kebutuhan yang sangat penting dan mendesak bagi kedua kawasan untuk tetap menghidupkan dan bahkan meremajakan kembali semangat Bandung ini sesuai kondisi ekonomi, sosial, politik, dan keamanan yang kini sedang kita hadapi bersama.

Dalam konteks perubahan yang terjadi dalam hubungan internasional, negara-negara Asia-Afrika menghadapi tantangan-tantangan besar, terutama dalam bidang:
• Ekonomi dan pembangunan.
• Perdamaian dan keamanan global, khususnya terorisme.
• Restrukturisasi politik global (Anak Agung Banyu Perwita PhD, Dasa Sila Bandung dan
Kemitraan Strategis Baru www.sinarharapan.co.id).

Sangat disayangkan dalam KAA sekarang ini tidak melibatkan elemen civil society di kedua kawasan tersebut. KAA Summit yang diselenggarakan di Jakarta 21-23 April hanya melibatkan pemerintah di kawasan tersebut. Padahal mencermati sejarah KAA yang lalu, elemen civil society juga disertakan dan memiliki andil yang cukup besar dalam merumuskan prinsip-prinsip yang dilahirkan.

Idealnya, KAA 2005 melibatkan stakeholder yang luas untuk menjaring inisiatif publik dan aspirasi domestik untuk diusulkan dalam kerangka kerja sama yang saling menguntungkan.
Kerangka NAASP sendiri dalam skemanya sudah mengakomodir kepentingan-kepentingan dalam bentuk kemitraan, seperti antarpemerintah, antarorganisasi subregional, dan antarkelompok masyarakat (bisnis, akademisi, dan masyarakat madani).
Namun, dalam proses pembicaraan, kelompok madani atau sering kali disebut civil society tidak dilibatkan secara penuh.

Bilamana summit tersebut memang diperuntukkan untuk setingkat kepala negara dan menteri luar negeri, seyogianya telah diadakan sebelumnya forum-forum dialog untuk menjaring aspirasi dari masyarakat. Hal ini penting sekali agar tidak terjadi kesenjangan antara pemerintah di level policy dan di tingkat praksis.

Wawan Fahrudin Peneliti Institute for Global Justice (IGJ)

Sekuritisasi Maririm dan Wilayah Perbatasan

Kompas - 8 Maret 2005


Oleh Wawan Fahrudin

SENGKETA Indonesia-Malaysia kembali mengemuka setelah Petronas, perusahaan minyak Malaysia, pada 16 Februari lalu melakukan kontrak kerja dengan memberi konsesi eksplorasi minyak terhadap Shell yang melewati wilayah Ambalat, di timur Pulau Kalimantan.

Indonesia mengklaim perairan yang tidak jauh dari Sipadan dan Ligitan ada di wilayah Indonesia. Sipadan dan Ligitan sendiri dulu juga menjadi perebutan Indonesia-Malaysia dan diselesaikan di Mahkamah Internasional, dan dimenangi Malaysia.

Tindakan Malaysia membuat Indonesia gerah dan menyiapkan armada tempur untuk mengamankan wilayah kedaulatan RI. Sebagai langkah lanjut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengunjungi perbatasan wilayah itu dan memerintahkan Panglima TNI untuk menegaskan kembali perbatasan wilayah Indonesia sebagai wujud kedaulatan bangsa. Informasi terakhir, SBY bertemu PM Malaysia Datuk Abdullah Ahmad Badawi dan sepakat masalah ini tidak usah dibesar-besarkan dan diselesaikan menteri luar negeri kedua negara.

Bisa jadi persoalan ini selesai, tetapi di balik itu semua terkandung bahaya yang tidak kentara dan sewaktu-waktu tersulut kembali, berkaitan teritorial Indonesia dengan beberapa tetangga. Dan ini menjadi potensi konflik di level kawasan maupun internasional.

Sekuritisasi maritim

Sekadar menggambarkan, saat ini potensi konflik mudah terjadi pada daerah sea dispute border antara lain dengan Singapura (Selat Philips), Vietnam (utara Kepulauan Natuna), dan pengaturan kembali perairan Indonesia di sekitar kepulauan Timor setelah Timor Timur berpisah dari Indonesia.

Tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Eksklusif dengan beberapa tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflik internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi.

Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki banyak "pulau-pulau tak bernama", membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusia. Ketiga, tidak adanya negosiator mumpuni yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional.

Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis (pangkal) pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan guna mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, hal ini memerlukan political will pemerintah. Tanpa itu mustahil akan berhasil. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus- menerus, pendudukan intensif, dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya ketiga unsur itu menjadikan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.

Lemahnya armada maritim Indonesia

Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.

Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat- saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan.

Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang "tidak layak tempur" karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alutsista (alat utama sistem persenjataan) merupakan "besi tua yang mengambang" dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh, (Anak Agung Banyu Perwita, Jurnal Global, 1/11/2004).

Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun (ibid).

Diplomasi dan konfrontasi

Ritme hubungan Indonesia- Malaysia dapat dikatakan naik turun. Masih segar dalam ingatan kita, Soekarno pernah menyerukan Komando "Ganyang Malaysia" sebagai reaksi atas tuduhan neokolonialisme (Nekolim). Semangat "ganyang Malaysia" kini sedang menggema kembali, sebagai cermin nasionalisme kebangsaan.

Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.

Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, seperti ditulis I Basis Susilo ("Menghadapi Provokasi Malaysia", Kompas), kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional.

Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling gamblang, tiadanya penamaan atas pulau-pulau "tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia.

Keamanan wilayah

ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak dapat campur tangan atasnya. Memang secara historis, ASEAN dibentuk atas dasar persoalan politik, yaitu adanya ketakutan peristiwa seperti "ganyang Malaysia" terulang kembali. Artinya, kerja sama regional Asia Tenggara ini ingin meminimalisasi intervensi satu negara atas negara lain.

Paranoid historis inilah yang menjadikan ASEAN tidak memiliki power dalam menyelesaikan masalah batas teritorial. Meski pembicaraan mengenai forum-forum kerja sama seperti ASEAN Security forum, ASEAN Maritime Forum memang merumuskan kerja sama keamanan regional negara Asia Tenggara, geregetnya belum kelihatan.

Sebagai forum kerja sama regional, seharusnya aneka masalah regional menjadi tanggung jawab bersama. Namun, atas dasar prinsip nonintervensi inilah, ASEAN menjadi tidak cukup menggigit dalam mengatasi persoalan perbatasan, seperti halnya yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia.

Wawan Fahrudin Peneliti Institute for Global Justice (IGJ)

Monday, July 18, 2005

Pertumbuhan EkonomiI Tidak Sejalan Dengan Kemakmuran

Ada indikasi bahwa terjadi manipulasi data pertumbuhan ekonomi sebagaimana awalnya dinyatakan oleh BPS yaitu Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi 6,35 persen dan dilain pihak Departemen Keuangan . Beberapa waktu lalu BPS (Badan Pusat Statistik) memaparkan data bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun 2005 mencapai 6,35 persen. Ini merupakan prestasi menakjubkan setelah pasca krisis ekonomi 1997 yang menghempaskan ekonomi Indonesia. Tidak ketinggalan IMF pun turut memuji Indonesia dengan mengatakan bahwa pertumbuhan PDB (pendapatan domestik bruto) dan sektor investasi pada triwulan pertama 2005 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan angka kuantitatif 5,5 persen. Namun jangan gembira dulu, fakta lain berbicara bahwa ada anak menderita busung lapar di Mataram, NTB, seorang ibu menggadaikan anak kembarnya karena tidak mampu membayar persalinan, 545.364 penduduk Lampung terkategori miskin, dan banyak lagi paparan yang memilukan tentang Indonesia yang tidak diberikan oleh media. Bayangkan saja, 16 persen atau 40 juta penduduk Indonesia dari 210 juta masih miskin! Kemudian orang awan akan bertanya buat apa data pertumbuhan ekonomi tinggi, kalau kami tidak mampu makan, berobat, dan menyekolahkan anak-anak kami?

Hampir tidak ada yang membantah bahwa ekonomi Indonesia sudah tumbuh pesat pasca krisis, bahkan wartawan Amerika Serikat yang tergabung dalam Jefferson Fellowship dan baru pertama kalinya berkunjung ke Indonesia serta Asia mengaku tercengang melihat kemajuan Jakarta (Tajuk Rencana Kompas, 20/5 2005). Dalam benak saya, mungkin para wartawan mengasumsikan citra Indonesia sebagai negara terbelakang seperti kota-kota Asia umumnya namun ternyata “bak kota New York”. Namun keterpanaan para wartawan kembali terjadi tatkala melihat banyaknya anak jalanan di pinggir jalan Jakarta. Menakjubkan kesenjangan Jakarta, bahkan ini potret riil dari Indonesia!

Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan

Kita kerap disajikan dengan berbagai data statistik dengan perhitungan yang njlimet, dengan metode kuantitatif canggih, dan dalil-dalil ekonomi yang luar biasa “melenakan”. Sebut saja misalnya, argumentasi para ekonom ketika menyatakan bahwa kenaikan harga BBM yang akan mengurangi jumlah angka kemiskinan secara signifikan. Betul memang, namun mengurangi jumlah kemiskinan bukan berarti karena meningkat kesejahteraannya, namun karena naik pesatnya angka mortalitas karena ketidakmampuan penduduk miskin untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan layak, rumah layak, dan makan yang cukup.
Selalu saja para ekonom neoliberal menandaskan suatu keniscayaan bahwa untuk mengurai kemiskinan tidak lain dengan jalan percepatan pertumbuhan ekonomi. Asumsinya bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi akan membawa pemerataan melalui ”mekanisme menetes ke bawah” (tricle down effect). Namun apa yang terjadi? Sudah lebih dari dua dasawarsa ekonomii kita terintegrasi dalam pasar bebas, pertumbuhan ekspor yang tinggi, namun di dalam negeri jurang kemiskinan, tak kunjung rapat justru makin menganga lebar. Belum lagi persoalan kelembagaan birokrasi kita yang sangat korup sehingga berbagai program pemerintah hanya berhenti di tengah-tengah dan target sasaran (beneficiaries) hanya mendapatkan ”remah” dari program tersebut. Sebut saja misalnya program raskin (beras untuk rakyat miskin), yang banyak diselewengkan bahkan dijual oleh aparat-aparat lurah. Belum lagi dana kompensasi BBM yang dikatakan akan dapat membantu sektor-sektor pendidikan dan kesehatan. Namun hingga sekarang belum nampak realisasi. Dan publik sudah terlanjut apatis bahwa dana-dana itu tidak dikorupsi mengingat pengalaman yang sudah berjalan selama ini.

Ada beberapa persoalan mendasar terkait dengan penyaluran program-program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Pertama, tidak adanya kelembagaan yang akuntabel yang menjamin program tersebut tepat sasaran dan tepat guna. Yang terjadi selama ini adalah dana-dana tersebut justru makin memperpanjang rantai korupsi dari pusat sampai daerah. Kedua, alokasi dana-dana tersebut tidak berbasis pada kemampuan atau potensi dari target sasaran. Sehingga dengan berbesar hati kalau pun dana tersebut sampai pada sasaran, belum efektif untuk meningkatkan kesejahteraan.

Dari program pembangunan selama ini hanya terpusat di Jakarta, dan beberapa kota besar di Jawa, hanya sedikit yang berada di Indonesia Timur. Betul bahwa sekarang ini sudah berubah sejak adanya desentralisasi dan banyak investor menanamkan modalnya di Indonesia Timur khususnya, dan daerah-daerah pada umumnya. Namun harus diingat bahwa selain meningkatnya investasi di daerah juga terjadi eskalasi korupsi di daerah. Ini bukan lagi isapan jempol. Korupsi sekarang ini bukan lagi “kerjaan” orang Jakarta, namun pejabat-pejabat daerah juga sudah mulai kebagian. Lihat saja berapa banyak kasus anggota DPRD, Gubernur, Bupati yang telah dikenaikan tuduhan korupsi! Hal ini makin menyakinkan bahwa persoalan kemiskinan tidak bisa ditumpukan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi. Bisa jadi memang terjadi pertumbuhan ekonomi seperti yang diungkapkan oleh BPS, namun berapa persen yang menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut?

Jadi sangat naïf apabila mengaitkan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan meratanya tingkat kesejahteraan. Besar kemungkinan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut hanya didorong oleh konsumsi, dan kalau pun tidak hanya dinikmati oleh minoritas yang dalam lingkar ekonomi dan kekuasaan. Sehingga yang terjadi kemudian adalah kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi. Jangan heran bilamana ada orang yang berpenghasilan ratusan juta rupiah, namun di pihak lain ada penduduk yang tidak mampu makan dalam sehari.

Kembali ke Ekonomi Pertanian

Kita patut puji dan dengan besar hati harus opmitis dengan gagasan pemerintah untuk melakukan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) untuk jangka waktu 5 tahun ke depan. RPPK merupakan program menyeluruh untuk memberdayakan kehidupan perekonomian petani dan masyarakat pedesaan, yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan pertumbuhan pertanian rata-rata sebesar 3,5% per tahun. Ini merupakan satu langkah terobosan untuk memperhatikan sektor yang selama ini dipandang sebelah mata. Padahal sektor-sektor tersebut merupakan penopang kehidupan rakyat banyak dan menjadi mata pencaharian mayoritas penduduk. Namun hingga sekarang tidak ada kebijakan menyeluruh untuk meningkatkan kesejahteraan para pelaku didalamnya. Petani, dan nelayan tidak pernah hampir tersentuh program pemerintah. Kalaupun tersentuh itu hanya menguntungkan di level tengah yang banyak dikuasai oleh broker/ perantara, sedangkan petani dan nelayannya sendiri jauh dari hidup sejahtera.
Diperlukan dukungan dari seluruh pihak sehingga program pemerintah ini bukan sekedar lip service. Gagasan yang cukup brilian adalah mengalokasikan 15 juta lahan pertanian abadi. Bilamana hal ini terealisasi maka kita sudah tidak perlu mengimpor beras lagi. Dan dalam jangka panjang, kedaulatan pangan (food sovereignity) kita juga terjamin karena tidak ada ketergantungan dengan bangsa lain seperti selama ini terjadi. Apalagi didukung oleh program pertanian organik yang gagas oleh Departemen Pertanian, akan makin mengokohkan posisi Indonesia untuk mengatasi persoalan pangan. Demikian juga dengan sektor perikanan. Permintaan yang besar terhadap produk perikanan harus dimanfaatkan secara optimal terutama untuk memenuhi pasar domestik. Selain itu menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah (value added) dari sektor ini. Di sektor kehutanan, walaupun disertai dengan pesimisme, patut diuji kebijakan pemerintah untuk menjamin adanya kepemilikan hutan rakyat yang dikelola secara adat. Pembalakan hutan yang merajalela sekarang ini telah mengikis tanah adat dan kerusakan lingkungan yang parah dapat direduksi bertahap secara siginifikan.

Penulis: Wawan Fahrudin, Peneliti Institute for Global Justice

Menimbang Economic Pathnership Agreement Indonesia – Jepang

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi, Kamis (2/6 2005), menandatangani nota kesepahaman tentang keinginan kedua negara membentuk kemitraan ekonomi yang komprehensif dalam persetujuan kerja sama ekonomi (economic partnership agreement/EPA). Dengan kesepakatan itu, kedua negara akan mengarahkan berbagai kebijakan untuk mengusahakan liberalisasi ekonomi, termasuk perdagangan bebas barang dan jasa (kompas, 3 Juni 2005). Kerja sama ekonomi yang menurut hasil studi tim Indonesia-Jepang akan menguntungkan kedua negara bersahabat tersebut akan membuka arus perdagangan barang dan jasa, tenaga kerja, serta aliran modal lebih deras (Bisnis Indonesia, 3 Juni 2005). Bentuk kesepakatan antara kedua kepala negara adalah ditandanganinya MoU yang disebut Strategic Investment Action Plans yang akan mempercepat pembentukan EPA. Sudah sejak awal publik sadar bahwa kekuatan liberalisasi pasar akan makin mengikat Indonesia erat, terutama tatkala SBY terpilih menjadi presiden.

Bilateral FTA dan mekanisme Multilateral

Bilateral free trade yang menjadi tren sekarang ini terjadi bukan tanpa sebab. Kegagalan perundingan WTO di Seattle tahun 2001 dan Cancun tahun 2003 menjadi pemicu merebaknya bilateral free trade. Hal ini disebabkan karena mekanisme bilateral free trade lebih mudah karena hanya melibatkan dua belah pihak. Oleh karena itu, bilateral free trade menjadi pilihan strategis bagi negara maju untuk memajukan berbagai usulan yang mandek di tingkat multilateral. Wajar saja bilamana terjadi resistensi dan pesimisme di kalangan domestik bahwa berbagai bilateral free trade tersebut makin merapatkan Indonesia ke pasar internasional dan pada akhirnya akan mengancam eksistensi industri domestik. Sementara di level negosiasi pemerintah begitu gencar melancarkan liberalisasi, namun disaat yang sama tidak ada arah yang jelas untuk meningkatkan daya saing produk domestik. Sebut saja misalnya di sektor TPT sudah barang tentu akan dikuasai oleh pasar China, Korea, India, dan Pakistan. Problematika industri domestik yang tidak memiliki titik pijak dan blue print yang jelas makin mengaburkan benefit yang akan diperoleh dari EPA tersebut.

Salah satu agenda penting yang dibicarakan dalam lawatan SBY ke Jepang, 31 Mei 2005, adalah disepakatinya Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPAs - Economic Partneship Agreement) antara keduabelah negara. Departemen Perdagangan dibawah Marie E. Pangestu sekarang ini sangat giat dalam merapatkan Indonesia dalam setiap forum internasional. Salah satunya adalah dengan mengadakan berbagai Kesepakatan Kemitraan Ekonomi (EPAs- Economic Partneship Agreements) dengan negara-negara yang “dinilai” menguntungkan Indonesia. Dalam konteks kawasan Asia Tenggara, dapat dikatakan Indonesia memang masih ketinggalan dibandingkan dengan Singapura dan Thailand yang sudah maju dengan berbagai perjanjian perdagangan bebas bilateral (BFTA – Bilateral Free Trade Agreements) / EPAs. Dalam lingkup Asia Tenggara, Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN – Association of Southeast Asian Nations) telah melakukan BFTA dengan China, dan sedang melakukan penjajakan dengan negara-negara Asia Timur lainnya, seperti Korea Selatan dan Jepang.

Pada akhir Mei 2005 ini, berbagai berita di media massa telah gencar meliput perkembangan rencana EPA antara Indonesia dan Jepang. Untuk sementara ini, kedua pihak sepakat untuk mulai memasuki tahap perundingan pada tanggal 31 Mei 2005. Sebelum diadakannya perundingan, kedua pihak telah melakukan Kelompok Studi Bersama (Joint Study Groups - JSG), yang merupakan tahap penjajakan. JSG pertama dilakukan Jakarta, sedangkan yang kedua dan ketiga dilakukan di Bali dan Tokyo. Pada JSG yang diadakan di Indonesia, penjaringan pendapat dan aspirasi dilakukan dengan mengundang para perwakilan dari asosiasi industri-industri, departemen-departemen dan think-thank, seperti Lembaga Penyidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Universitas Indonesia dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Institute for Global Justice (IGJ) sebagai pihak LSM mendapat undangan setelah melayangkan surat kepada Menteri Perdagangan, dan ditanggapi dengan mengundang IGJ sebagai wakil dari masyarakat sipil.

Beberapa hari sebelum diadakannya perundingan EPA antara Indonesia dan Jepang, Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Mari Elka Pangestu, menyatakan puas dengan hasil JSG yang telah dilakukan diantara kedua negara (Bisnis Indonesia, 25 Mei 2005). Sementara itu, wakil Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang, Hideji Sugiyama, juga menyakatan bahwa proses perundingan diantara kedua negara akan dilakukan di sela-sela lawatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Jepang.

Rintisan EPA antara Jepang dan Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak pemerintahan Megawati berkuasa. Pada tahun 2003, tepatnya tanggal 24 Juni, Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, dan Presiden Megawati Soekarnoputri menyepakati perlunya dimulai kajian mengenai kemungkinan penyusunan BFTA antara kedua Negara (Kompas, 25 Juni 2003).

Pemisahan antara Ekonomi dan Masalah Sosial

Tema sentral dari EPA adalah memacu perdagangan antar negara dengan memacu tingkat ekspor. Kemakmuran seringkali diukur seberapa jauh mereka dapat 'bermain dalam pasar'. Ini sejalan dengan agenda ekonomi negara-negara berkembang yang menekankan pentingnya ekspor, tapi cenderung melupakan kondisi ekonomi nasional, sehingga terjadi kesenjangan sangat besar antara sektor yang berorientasi pada persaingan internasional dan perekonomian masyarakat luas. terpusat pada pengembangan ekonomi yang cenderung mengabaikan adanya masalah-masalah sosial, politik, hak asasi manusia, keseteraan dan lainnya. Masalah pembangunan berkelanjutan yang sangat menekankan pentingnya dimensi lingkungan hidup, hak asasi manusia, kesetaraan dan kemakmuran rakyat, boleh dibilang terhapus.Salah satu kekhawatiran yang selalu muncul dari adanya liberalisasi menyangkut nasib dari sektor-sektor marginal. Sebut saja misalnya

Mitos Pertumbuhan Menuju Kemakmuran.

Dalam paham neoliberal, pertumbuhan dipercaya mendorong pembangunan masyarakat secara menyeluruh (social development). Bukti-bukti dari negara Asia-Pasifik sendiri memperlihatkan betapa pertumbuhan terjadi tanpa pemerataan (growth without prosperity). Arus aliran barang dan uang yang begitu cepat di bawah rezim liberalisasi juga membuat modal makin independen dari kekuatan produktif, yaitu tenaga kerja. Bargaining position dari buruh, yang tergabung dalam serikat buruh maupun tidak akan melemah secara drastis, karena modal dapat mengalir ke sana ke mari tanpa hambatan, termasuk dari serikat-serikat buruh. Kompetisi internasional juga diperkirakan akan menekan tingkat upah dan standar taraf hidup secara, dan karena bargaining position yang lemah – akibat berla-kunya sistem kerja kontrak, ketidak-pastian status dan pelemahan lainnya – serikat-serikat buruh tidak dapat berbuat banyak.

Mekanisme Pengambil Keputusan dan Kesepakatan yang Tertutup.

Selama tiga tahun berlangsungnya, sidang-sidang APEC senantiasa tertutup bagi pihak lain, dan akses terhadap dokumen, keputusan dan kesepakatan penting dalam forum ini sangat dibatasi. Pemerintahan negara-negara anggota juga tidak melakukan konsultasi dengan sektor-sektor dalam masyarakat sebelum mengambil keputusan, sehingga accountability-nya sangat dipertanyakan.

Menilik posisi Indonesia didalam BFTA / EPA sebelumnya, seperti dalam lingkup ASEAN-China BFTA, maka Indonesia harus tetap memegang prinsip kehati-hatian, dengan memberikan perhatian khusus terhadap sektor-sektor yang memiliki tingkat kesiapan yang memadai untuk proses liberalisasi. Sekarang saja, misalnya, kita dapat melihat barang-barang dari Cina sudah membanjiri pasar Indonesia meskipun Indonesia masih terlibat tidak langsung dalam kerangka perjanjian perdagangan bebas tersebut. Menurut seorang anggota Komisi VI, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Didiek J. Rachbini, Menteri Perdagangan Indonesia dalam hal ini tidak melakukan perhitungan cermat mengingat produk yang dihasilkan Indonesia berhadapan frontal dengan produk China (wawancara Didiek J. Rachbini, 12 April 2005). Walaupun Didiek cukup optimis terhadap langkah Marie Pangestu untuk mengadakan BFTA dengan Jepang, dikarenakan sifat komplementaritas antara ekonomi Indonesia dan Jepang. Namun perlu diwaspadai bahwa Jepang dikenal cukup protektif dalam sektor pertaniannya. Hal tersebutlah yang harus membuat Indonesia tetap waspada terhadap bentuk-bentuk EPA / BFTA yang diluncurkan oleh pemerintah.

Pendapat hampir senada juga diungkapkan oleh anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, bahwa perdagangan bebas memang sudah menjadi filosofi dari Menteri Perdagangan sekarang ini. Memang betul, tidak seluruhnya pasar bebas itu buruk, dan pada satu titik tertentu mekanisme seperti itu dapat dibutuhkan. Wibowo mengibaratkan bahwa pasar bebas itu bak kurva lonceng ada titik tertentu, dimana setelah berlebihan dia justru kontraproduktif. Dan sekarang ini liberalisasi yang dilakukan pemerintah sudah mengarah pada “liberalisasi terjun bebas” (wawancara Dradjat Wibowo, 2 Mei 2005).

Yang menjadi catatan adalah liberalisasi yang dilakukan oleh pemerintah sekarang ini sejauh-jauhnya harus dilakukan demi kesejahteraan rakyat Indonesia, dan bukan hanya menguntungkan pihak tertentu saja. Tentu saja, hal tersebut hanya dapat dilakukan apabila pemerintah membuka diri dengan melibatkan berbagai pihak terkait, baik sektor bisnis, maupun perwakilan masyarakat sipil. Walau secara prinsip ditentang, liberalisasi adalah gelombang yang tidak dapat ditahan. Pemerintah Indonesia sejak awal sudah menyatakan komitmen terhadap APEC dan AFTA serta GATT/WTO, sekalipun tanpa kon-sultasi dengan rakyat maupun 'per-wakilannya'. Dalam hal ini perlu di-pikirkan strategi pemberdayaan yang dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan yang dibawa APEC, dan lebih lanjut mempertanyakan kehadiran dan eksistensinya secara menyeluruh. Salah satu langkah penting adalah membuat wacana tandingan (counter-discourse) yang mengakomodasi berbagai kepentingan dan pemikiran dari kalangan rakyat sendiri, khususnya mereka yang tidak diuntungkan oleh rezim liberalisasi ini. Tidak kurang, ketua komisi VI, Khofifah Indar Parawangsa menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki visi dan strategi jangka panjang yang menyeluruh baik di sektor industri maupun perdagangan yang dapat digunakan sebagai acuan kerja sama tersebut.


Wawan Fahrudin
Peneliti Institute for Global Justice

Menakar Keanggotaan Vietnam di WTO

Kunjungan PM Vietnam, Phan Van Khai, ke Amerika Serikat menandai tonggak sejarah baru. Lawatan Perdana Menteri Khai ke Amerika ini merupakan yang pertama kali dilakukan oleh seorang pemimpin Vietnam sejak akhir Perang Vietnam 30 tahun lalu. Hal ini menandai adanya rekonsiliasi antar kedua negara pasca perang Vietnam. Selain itu, berita yang cukup mengagetkan adalah komitmen Vietnam untuk menjadi anggota WTO. Bush sendiri memberikan “restu” kepada Vietnam dan menyambut baik seraya “menitipkan pesan” untuk mendorong proses demokratisasi dan penyelesaian pelanggaran HAM di Vietnam.

Walaupun secara politik Vietnam masih menganut partai tunggal, yang berhaluan komunis, yaitu Partai Komunis Vietnam, namun secara ekonomi dapat dikatakan liberal. Masuknya Vietnam ke dalam WTO merupakan sinyal terjadinya babak baru memantapkan posisinya untuk merapatkan diri dalam globalisasi neoliberal. Lebih dari 3 dasawarsa sistem sosialisme komunis menjadi paradigma ekonominya. Hal ini makin mengukuhkan bahwa globalisasi yang ditopang oleh ideologi neoliberal ini makin mengikis perseteruan kuno, antar dua ideologi besar, apalagi Cina juga sudah mendahului masuk dalam WTO sejak tahun 2000.

Untuk mengejar ketertinggalannya setelah perang ideologi, Vietnam memacu perekonomiannya dengan merangsang masuknya investasi, antara lain: reformasi perpajakan, mengijinkan investor asing membeli saham perusahaan negara, serta menyederhanakan prosedur investasi.
Reformasi ekonomi Vietnam terbukti telah berhasil menarik investor, tidak hanya dari Asia, tapi juga dari Uni Eropa dan Amerika Serikat. Dengan Uni Eropa, nilai perdagangan Vietnam naik pesat dari satu miliar euro pada 1990 menjadi 7,5 miliar euro tahun lalu. Produk-produk utama ekspor Vietnam ke EU adalah tekstil dan garmen, produk alas kaki, dan pertanian. Sedangkan dengan Indonesia, sesama negara ASEAN, tercatat tahun 2000-2002, neraca perdagangan dengan Vietnam menguntungkan Indonesia. Ekspor Indonesia ke Vietnam tahun 2002 totalnya mencapai 362,8 juta dolar AS, sedangkan impor produk Vietnam 330,2 juta dolar. Namun pada 2003, Vietnam telah melampaui Indonesia. Ekspor Indonesia jatuh menjadi 147,9 juta dolar AS, sedangkan impor Vietnam naik menjadi 280,3 juta dolar AS.
Saat ini, pendapatan per kapita Vietnam pada 2004 telah mencapai 550 dolar AS.

Pertumbuhan GDP Vietnam pada 2003 mencapai 7,24 persen menduduki peringkat kedua tertinggi di Asia-Pasifik, setelah Cina. Pertumbuhan ini didorong oleh laju industrialisasi yang mencapai 15,5 persen dan investasi 51,5 persen. Angka-angka ini makin memantapkan posisi Vietnam sebagai salah satu negara tujuan dari investasi dan pasar yang menggiurkan.

Pertanian terutama beras memang menjadi salah satu andalan bagi Vietnam di pasar internasnional. Namun kita harus cermat bahwa produk-produk pertanian merupakan komoditas yang mudah jenuh. Artinya, secara sederhana dapat dimaknai bahwa Vietnam sudah siap melakukan liberalisasi pasar dengan berbagai konsekuensinya. Sekitar dua per tiga dari negara Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berjumlah 148 negara adalah berasal dari negara berkembang. Apabila membicarakan negara berkembang berarti negara-negara tersebut banyak berlokasi di benua Asia dan Afrika.

Dalam perkembangannya sejak berdiri 1 Januari 1995, negara-negara berkembang diharapkan dapat memainkan peranan penting dalam WTO, tidak saja karena jumlahnya yang besar tapi juga karena semakin meningkatnya peranan negara berkembang dalam perekonomian global. sebagai forum perdagangan dunia, tidak lain merupakan lembaga yang mendorong kea rah liberalisasi pasar. Sekarang ini WTO sudah sangat meluas wewenangnya ke dalam bidang-bidang yang tidak dalam kategori perdagangan. Sebut saja misalnya agreement-agreement terkait dengan hak HAKI, . Belum lagi kita bicara mengenai kedaulatan pangan dan potensi untuk mengekspoitasi sumberdaya alam yang ada di dunia ketiga. Pada intinya, pusaran dunia, akan memusat jadi satu bagian dari sistem kapitalisme dunia, apalagi rezim-rezim populis seperti Castro di Cuba, dan Hugo Cavhes di Venezuela runtuh maka sudah ternisbahkan tesis dari Fukuyama tentang kemenangan kapitalisme dalam pertarungan ideologi.

Wawan Fahrudin
Peneliti Institute for Global Justice

“KPU Gate” Bukan Pembiaran Masyarakat

Korupsi menjadi tema pembicaraan sentral sekarang ini, sejak merebaknya kasus “KPU Gate” yaitu skandal penyuapan dan indikasi korupsi berjemaah yang dilakukan oleh KPU yang menyeret berbagai pihak, termasuk lintas institusi negara seperti Departemen Keuangan, anggota DPR, dan BPK sendiri. Bahkan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid meminta KPK untuk membeberkan nama-nama anggota DPR yang terlibat. Berita terbaru kemajuan kasus skandal korupsi KPU adalah ditahannya ketua KPU, Nazaruddin Sjamsudin menyusul Mulyana W. Kusuma yang sudah ditahan beberapa waktu lalu.
Publik sekarang ini tercurah perhatiannya semua ke persoalan pemberantasan korupsi. Tidak kurang pemerintah nampaknya juga bersungguh-sungguh untuk memberantas “parasit para pejabat” dengan membentuk berbagai komisi, termasuk yang terbaru Tim Pemberantasan Korupsi yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Masyarakat boleh merasa berbesar hati bahwa kasus ini tidak hanya menjadi komoditas politik tanpa ada penyelesaian hukum secara tuntas.

Perdebatan demi perdebatan, serangkaian diskusi, curah pendapat yang menghadirkan para pakar dan masyarakat yang sudah muak dengan perilaku para koruptor marak diselenggarakan. Media juga tidak kalah gencar menampilkan berita korupsi menjadi headline selama hampir sebulan penuh. Kembali argumentasi yang berkembang dalam menelaah persoalaan korupsi adalah berpusat pada spektrum bahwa korupsi merupakan budaya (culture) atau istilah HS Dillon way of life, di lain pihak memandang bahwa korupsi hanya sekedar perilaku sejumlah orang yang pada akhirnya mencerminkan dan berurat akar menjadi satu ”tradisi” atau masih penyimpangan norma yang berlaku umum dan bukan kesalahan sistemik (fact of life).
Dillon memandang bahwa korupsi merupakan tindakan individu secara personal bekerjasama dengan personal lain, dan budaya hanya dijadikan kambing hitam atau tameng perilaku korupsi. Artinya, sudah terjadi penyimpangan norma dalam masyarakat kita, sehingga stigma korupsi yang sudah berurat akar seolah menjadi satu ”tradisi” turun menurun. Oleh karena itu, cara efektif memberantas korupsi menurutnya, adalah mengurangi insentif dan kesempatan untuk perilaku korupsi serta meningkatkan insentif dan kesempatan bagi perilaku nonkoruptif. Pendapat senada juga telah diungkapkan Prof. Lepi Tarmidi yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan profesionalitas pejabat dan pegawai negeri dan mengurangi tingkat korupsi tidak lain adalah dengan meningkatkan kesejahteraan para pegawai tersebut.

Saya sependapat sekali bahwa bangsa Indonesia yang berbudi luhur ini tidak memiliki akar tradisi korupsi. Namun bukan berarti tidak pernah terjadi preseden historis dalam perjalanan pembentukan negara bangsa (nation state) Indonesia. Kita tahu semua bahwa VOC (Verenigde Ostindiest Compagnie), cikal bakal kolonialisme Belanda selama lebih dari 3 abad, mengalami kebangkrutan salah satu akar penyebab internalnya adalah korupsi yang dilakukan para pegawainya. Secara tidak langsung karena pada waktu ini VOC bertindak ”seolah” negara (state) yang memiliki kemampuan ekonomi dan alat pemaksa (tentara), telah memberikan satu bentuk adanya ”pengajaran” bahwa ada cara untuk mempercepat memperkaya diri yaitu melalui korupsi.

Struktur yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda, juga makin dikuatkan dengan tradisi kerajaan yang masih kental dalam darah daging bangsa Indonesia. Tradisi kerajaan melahirkan budaya patron klien yang membentuk saling keterikatan antara kawula (rakyat) dengan gusti (pemerintah). Pada perjalanannya, struktur dan kultur kekuasaan yang terbentuk di Indonesia sejak kemerdekaan hingga sebelum reformasi adalah pemerintah otoriter yang mengharamkan adanya kontrol publik terhadap penguasa.

Reformasi memang telah mengubah skema bentuk kekuasaan dari otoriter menjadi demokrasi. Namun yang terlupakan adalah adanya moral penguasa masih belum berubah secara penuh. Prinsip-prinsip demokrasi yang meletakkan dasar adanya supremasi sipil dan kuatnya kontrol publik belum tuntas. Dalam paradigma demokrasi, yang meletakkan penguasa hanya sebagai representasi publik yang memiliki tanggung jawab moral dan politik tidak berjalan secara mulus karena kultur penguasa otoriter yang masih melekat. Salah satu ciri yang paling kentara adalah tidak adanya kontrol kendali publik atas jalannya satu penyelenggaraan negara. Memang tidak seluruhnya kontrol tersebut tidak berjalan, sebut saja misalnya media dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sedikit mengisi kekosongan kontrol publik atas kekuasaan. Di sisi lain, tidak terbentuk satu kesadaran pribadi dan kelembagaan terhadap prinsip akuntalibitas atas jabatan yang diamanahkan kepada para pejabat tersebut.

Kemudian menjadi ganjil menurut saya dengan argumentasi bahwa akar dari korupsi adalah perilaku ”pembiaran” oleh masyarakat terhadap para koruptor, seakan-akan korupsi adalah hal yang wajar dan biasa (Korupsi Hadang Kebangkitan Bangsa, Kompas, 21/5 2005). Persoalan korupsi merupakan persoalan yang kompleks, dan menjadi satu klise bahwa kajian dan penuntasannya bersifat lintas disiplin dan lembaga. Terlepas dari itu semua, menandaskan bahwa telah terjadi ”pembiaran” masyarakat atas kejahatan para koruptor terlalu menyederhanakan masalah.

Dosa para koruptor tidak bisa dibebankan kepada masyarakat sehingga melahirkan perspektif telah terjadi pembiaran oleh masyarakat. Sehari-hari masyarakat sudah disibukkan dengan persoalan pemenuhan kebutuhan yang makin lama makin sulit, apalagi pasca kenaikan harga BBM! Yang terjadi kemudian adalah bukan persoalan pembiaran perilaku korupsi oleh lingkungan/ masyarakat namun korupsi telah dianggap sebagai sebuah kewajaran atau bahkan anggapan bahwa tidak ada keterkaitannya antara persoalan korupsi dengan ”periuk nasi rakyat”. Korupsi adalah persoalan elit (pejabat) yang tidak mampu dipahami oleh masyarakat, sehingga tidak terjadi kesadaran kolektif untuk mempertautkan antara kasus korupsi dengan persoalan hajat hidup rakyat sehari-hari. Sehingga dengan premis berbeda memang telah terjadi pembiaran, namun sekali lagi itu bukan atas ketakutan atau keseganan masyarakat seperti diungkapkan Dillon, justru karena ketidaktahuan dan tidak adanya kesadaran di level masyarakat bahwa persoalan korupsi merupakan penyakit bangsa dan negara yang terjangkit di lingkungan para pejabat, namun akibatnya adalah sangat luas, termasuk dari terabaikannya masalah pendidikan, akses kesehatan murah yang seharusnya dapat diperoleh masyarakat. Oleh karena itu, pembelajaran dan pembentukan kesadaran kolektif dari masyarakat terhadap bahayanya penyakit korupsi ini harus ditanamkan sejak dini dan disosialisasikan secara intentif. Bilamana perlu, kajian korupsi menjadi bentuk kurikulum yang diajarkan dari mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan moral anti korupsi yang ditanamkan lewat jalur pendidikan akan efektif untuk ”memotong” generasi sekarang ini yang sudah penuh dengan dosa korupsi yang akan tumbuh tunas-tunas bangsa yang akan menghidupkan yang akan membawa Indonesia pada masa pencerahan.


Wawan Fahrudin
Peneliti di Institute for Global Justice
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan sikap lembaga dimana penulis bekerja

Perancis Tolak Konstitusi UE Pelajaran Buat ASEAN

Rakyat Perancis menghadapi momentum bersejarah Minggu (29/5 2005) ketika memberikan suara dalam referendum mengenai konstitusi pertama Uni Eropa. Konstitusi Eropa sendiri merupakan pakta yang dirancang untuk menarik beberapa negara di Eropa untuk bersatu dalam satu blok kawasan. Hampir 42 juta rakyat Perancis berpartisipasi dalam referendum tersebut. Eksistensi Uni Eropa menjadi terancam karena publik Perancis menolak referendum konstitusi Uni Eropa, setelah 54,87 persen rakyat Perancis menolak, dibanding dengan 45,13 persen menyetujui. Penolakan di Perancis tersebut membuka suatu periode ketidakpastian politik mendalam di Uni Eropa, karena konstitusi tersebut perlu diratifikasi oleh 25 negara anggotanya.

Konstitusi Eropa ditandatangani oleh 25 negara Eropa pada bulan Oktober 2004 di Roma. Konstitusi ini dimaksudkan untuk memudahkan pengambilan keputusan di Uni Eropa. Untuk mengimplementasikannya, konstitusi Uni Eropa wajib diratifikasi oleh seluruh anggota UE. Sejauh ini baru beberapa negara yang telah meratifikasi, di antaranya Italia, Lituania, Slovenia, Hongaria, dan Spanyol yang masih menunggu pengesahan parlemen. Sedangkan parlemen Yunani Jumat (27/5 05) melakukan pemungutan suara. Sebelum ditetapkan menjadi Undang-Undang, diadakan referendum di tiap-tiap negara Eropa, dan hasilnya mengikat sebelum diratifikasi oleh 25 negara Uni Eropa.

Persoalan yang berpusar pada intergasi Eropa ini memang masih belum mampu menyatukan antara suara elit dan aspirasi dari masyarakat (grass root). Di level government kecenderungan elit politik menginginkan integrasi Eropa secara utuh yang tidak hanya dalam satu Common Market (Pasar Bersama), namun lebih mendalam lagi hingga integrasi politik dan ekonomi. Namun resistensi domestik antara publik dengan elit politik, seperti tercermin dari referendum Perancis tidak terhindarkan. Dari intern (politik domestik) rakyat Perancis mengalami ketakutan bahwa ideologi pasar bebas di Uni Eropa akan menyebabkan tingkat pengangguran semakin meningkat, - sekarang ini pengangguran di Perancis mencapai 10 persen -. Pasar bebas hanya mengadopsi kepentingan bisnis dengan mengabaikan kepentingan publik. Inggris dan Polandia, misalnya, lebih condong pada ekonomi yang lebih liberal, sedangkan kubu Jerman-Perancis menginginkan sistem ekonomi yang terintegrasi dan lebih mementingkan konsep jaminan sosial. Dampak lain dari hasil referendum Perancis adalah semakin tertutupnya kemungkinan perluasan kembali Uni Eropa, khususnya menyangkut keanggotaan Turki yang berpenduduk mayoritas Muslim. Apalagi salah satu alasan keberatan kubu "tidak" di Belanda dan Perancis adalah karena Konstitusi UE membuka jalan bagi bergabungnya Turki. Perkembangan ini juga akan kembali menunda perundingan mengenai kemungkinan masuknya Norwegia di Uni Eropa. Norwegia telah melakukan dua kali referendum (tahun 1972 dan 1994) dan keduanya menghasilkan penolakan.
Proses demokrasi yang sangat dijunjung tinggi di Eropa, dan masyarakat Barat pada umumnya telah membuktikan bahwa tidak selalu kepentingan dari elit politik akan sama dengan aspirasi di tingkat bawah. Banyak kalangan menilai bahwa konstitusi Uni Eropa ini akan menghancurkan tatanan sosial di Perancis dan menghadirkan kompetisi yang tak terkendali antar anggota Uni Eropa. Rakyat Perancis apatis terhadap perkembangan Uni Eropa yang makin mengarah ke pasar bebas, yang mementingkan kepentingan bisnis daripada mengakomodir kepentingan sosial masyarakat Eropa.

Pengalaman Eropa ini patut menjadi perhatian masyarakat Asia, dalam kerangka kerjasama ekonomi kawasan. ASEAN yang merupakan payung kerjasama ekonomi kawasan sekarang ini masih menyimpan berbagai persoalan mendasar. Misalnya saja persoalan perbatasan, terorisme dan kejahatan lintas batas, serta HAM, serta belum tuntasnya perlu tidaknya diadakan peremajaan terhadap prinsip non-intervensionis, yang disatu pihak dipandang menjaga eksistensi ASEAN, namun dilain pihak membuat ASEAN tidak mampu berbuat banyak untuk mengantisipasi dinamika kawasan. Di tingkat internasional sendiri, terjadi perdebatan untuk mengarahkan ASEAN tidak menjadi blok perdagangan seperti Uni Eropa. Hal ini disebabkan karena Uni Eropa sudah mengarah pada blok perdagangan yang eksklusif dan hanya memberikan preferensi kepada anggotanya, dan memberikan restriksi bagi non anggota.
Secara paradigmatik, arah yang ingin dituju oleh ASEAN sekarang ini mengarah pada Uni Eropa sebagai satu model blok ekonomi yang bertumpu pada penguatan kawasan dengan mempromosikan liberalisasi. Oleh karena itu, kerjasama-kerjasama yang sifatnya ekonomi regional mendapat porsi besar, baik intern kawasan maupun dengan ekstern kawasan. Ditilik dari segi ekonomi, ideologi pasar bebas juga sangat kuat di ASEAN. Kecenderungan di tingkat regional ini searah dengan “angin” di tingkat internasional. Pasca gagalnya 2 kali perundingan WTO, di Seattle, dan Cancun, telah mengubah konstelasi perdagangan internasional. Salah satunya adalah meningkatnya Bilateral Free Trade Agreement (BFTA) baik, antara satu negara dengan negara lain, kawasan dengan satu kawasan lain, maupun satu kawasan dengan satu negara lain. Misalnya saja, yang sudah diratifikasi adalah BFTA ASEAN-China, dan yang masih dalam tahap penjajakan dengan Korea Selatan, Jepang, dan India.

Memetik pelajaran dari Uni Eropa bahwa pendapat publik dalam bentuk referendum (jajak pendapat) sangat penting sekali untuk mengetahui aspirasi yang berkembang. Namun hingga sekarang ini, tradisi untuk melibatkan publik dalam pengambilan keputusan rasanya masih jauh dari ideal. Seringkali persoalan yang berkaitan dengan ASEAN, entah itu AFTA misalnya, tidak ada prakondisi untuk menjaring aspirasi dari publik. Padahal suara publik ini sangat penting sekali. Masih lekat dalam paradigma elit politik ASEAN bahwa persoalan di level policy baik nasional maupun regional merupakan persoalan elit. Sehingga kerapkali hasil-hasil yang dicetuskan tidak searah dengan aspirasi rakyat secara keseluruhan.

Secara ideal konsep regionalisme seharusnya berasal dari bawah, bottom up. Namun selama ini terbalik, banyak sekali policy yang sifatnya up to down, termasuk misalnya kerangka-kerangka perjanjian baik di level regional yang dilakukan ASEAN, maupun Indonesia sebagai salah satu anggotanya. Belum lagi persoalan sosialisasi kebijakan yang sangat minim. Publik cenderung pasrah saja, dan hanya tahu setelah dampak-dampak terjadi. Misalnya saja, dari membanjirnya produk-produk dari China, misalnya. Pada akhirnya yang dirugikan kembali adalah rakyat, terutama bagi sektor-sektor yang masih marjinal. Akibat lebih lanjut dari ekslusivitas pengambilan kebijakan di level domestik tidak terbentuk strategi pengembangan industri yang memihak pada rakyat. Terlepas dari hiruk pikuk nasib Uni Eropa ke depan, pasca hasil referendum Perancis, bagi Indonesia, dan ASEAN pada umumnya menjadi satu bentuk pembelajaran untuk mengikutsertakan suara publik dalam setiap penyusunan kebijakan.

Wawan Fahrudin
Peneliti Institute for Global Justice

Kedaulatan Pangan dan Kemiskinan

Munculnya wilayah rawan pangan, beragam peristiwa kelaparan di berbagai daerah, menempatkan masyarakat dalam jerat kemiskinan akut. Data Pusat Statistika (BPS) 2004 mencatat angka kemiskinan mencapai 36,1 juta dari 217 juta penduduk Indonesia. Jumlah yang terpapar tersebut tidak dapat dikatakan sedikit (kurang lebih 16 persen), dan sudah mencapai titik rawan yang membutuhkan kesigapan berbagai pihak untuk melakukan tindakan cepat dan terpadu. Ukuran garis kemiskinan Nasional adalah jumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk makanan setara 2.100 kilo kalori per orang/hari dan untuk memenuhi kebutuhan nonmakanan berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang/jasa lainnya. Mereka yang pengeluarannya lebih rendah dari garis kemiskinan disebut sebagai penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan atau penduduk miskin (UNDP).
Dari 51 bayi berusia di bawah lima tahun yang mengalami gizi buruk selama Januari-Mei 2005 di NTB, delapan di antaranya meninggal dunia (kompas, 26 Mei 2005). Ironisnya, NTB merupakan satu satu daerah yang cukup baik hasil pertaniannya dalam arti surplus beras. Kasus rawan pangan disertai gizi buruk telah merambah ke provinsi NTT, Sumbar, dan Lampung. Dan kejadian di NTT sendiri bukan pertama kali, tercatat tahun 1966, sebanyak 20.000 jiwa terserang penyakit busung lapar, 8.317 orang di antaranya meninggal. Artinya, setelah lebih dari seperempat abad kita mengalami pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, menurut data BPS (6,35 persen – pertumbuhan tertinggi pasca krisis ekonomi 1997), justru malah setback ke 5 dasawarsa silam.
Di tingkat internasional, concern dunia terhadap masalah keamanan pangan (food security) ini diprakarsai oleh FAO, dengan mengadakan World Food Summit lima tahun sekali untuk mencari jalan pemecahan masalah kemiskinan dunia. Salah satu komitmen politik FAO adalah menegaskan pentingnya pembangunan pertanian dan pedesaan dalam mengikis kelaparan dan kemiskinan. Pembangunan pertanian dan pedesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan ketahanan pangan, karena mayoritas penduduk miskin dunia hidup di pedesaan dan mengandalkan sumber penghidupannya dari sektor pertanian. Oleh sebab itu, upaya pencapaian sasaran mengatasi kelaparan dan kemiskinan harus melandaskan pada upaya peningkatan produktivitas pertanian, perbaikan produksi, dan distribusi pangan. Berdasarkan data yang digunakan MDGs dalam indikator kelaparan, hampir dua-pertiga dari penduduk di Indonesia masih berada dibawah asupan kalori sebanyak 2100 kalori perkapita/hari. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kecukupan kalori, disamping menjadi permasalahan masyarakat miskin, ternyata juga dialami oleh kelompok masyarakat lainnya yang berpendapatan tidak jauh di atas garis kemiskinan. (Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Bappenas)

Industrialisasi Membelenggu
Industrialisasi sudah menjadi jargon untuk meningkatkan kesejahteraan melalui percepatan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, strategi yang dilakukan pemerintah adalah mengundang para investor untuk menanamkan modal. Namun, justru sektor yang banyak dipromosikan adalah infrastruktur dan manufaktur. Padahal kedua sektor tersebut relatif tidak berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan, dan pengurangan kemiskinan (poverty eradication) secara signifikan. Justru yang terjadi kemudian adalah gap dari masyarakat lokal atas kehadiran industri-industri tersebut. Disatu sisi karena kebutuhan pemenuhan tingkat profesionalitas dibutuhkan lulusan-lulusan sarjana untuk mengisi tenaga kerja. Disatu sisi penduduk lokal tidak ada yang memenuhi kualifikasi yang disyaratkan. Yang kemudian terjadi, setelah tanah pertanian mereka dijual ke para investor untuk industri maka mereka menjadi buruh tani. Ujung dari kisah ini adalah menjalin rantai kemiskinan yang semakin panjang. Menyertai terjadinya transformasi struktural di sektor pertanian adalah konversi lahan dari penggunaan pertanian ke non pertanian. Di Jawa pada 1984-1988, rata-rata 36.000 hektar lahan sawah telah dikonversikan ke penggunaan permukiman dan industri. Jadi sangat naïf apabila mengaitkan tingkat pertumbuhan ekonomi dengan meratanya tingkat kesejahteraan. Besar kemungkinan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut hanya didorong oleh konsumsi, dan kalau pun tidak hanya dinikmati oleh minoritas yang dalam lingkar ekonomi dan kekuasaan dan tidak menyentuh sektor-sektor marjinal yang digeluti oleh rakyat. Sehingga yang terjadi kemudian adalah kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi. Jangan heran bilamana ada orang yang berpenghasilan ratusan juta rupiah, namun di pihak lain ada penduduk yang tidak mampu makan dalam sehari.

Ekonomi Pertanian
Masalah kemiskinan di Indonesia bukan hanya jumlahnya yang besar tetapi juga disparitas yang tinggi antar wilayah, provinsi, ataupun kabupaten dan kota, dan kemiskinan transiden yang serius, yaitu sejumlah besar penduduk akan tergolong miskin bila terjadi sesuatu perubahan keadaan/kebijakan. Di kalangan LSM sendiri sebenarnya ada upaya-upaya untuk melakukan terobosan dan gagasan penolakan terhadap komersialisasi pangan. Karena hal ini berdampak pada keamanan pangan dan kerentanan pangan domestik. Sudah selayaknya sekarang diupayakan satu strategi secara menyeluruh untuk membangun industri dengan berbasis pertanian, dalam rangka ketahanan pangan sekaligus upaya untuk menjaga kedaulatan pangan (food sovereignity).
Kita patut puji dan dengan besar hati harus opmitis dengan gagasan pemerintah untuk melakukan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) untuk jangka waktu 5 tahun ke depan. RPPK merupakan program menyeluruh untuk memberdayakan kehidupan perekonomian petani dan masyarakat pedesaan, yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran serta meningkatkan pertumbuhan pertanian rata-rata sebesar 3,5% per tahun. Ini merupakan satu langkah terobosan untuk memperhatikan sektor yang selama ini dipandang sebelah mata. Padahal sektor-sektor tersebut merupakan penopang kehidupan rakyat banyak dan menjadi mata pencaharian mayoritas penduduk. Namun hingga sekarang tidak ada kebijakan menyeluruh untuk meningkatkan kesejahteraan para pelaku didalamnya. Petani, dan nelayan tidak pernah hampir tersentuh program pemerintah. Kalaupun tersentuh itu hanya menguntungkan di level tengah yang banyak dikuasai oleh broker/ perantara, sedangkan petani dan nelayannya sendiri jauh dari hidup sejahtera.
Diperlukan dukungan dari seluruh pihak sehingga program pemerintah ini bukan sekedar lip service. Gagasan yang cukup brilian adalah mengalokasikan 15 juta lahan pertanian abadi. Bilamana hal ini terealisasi maka kita sudah tidak perlu mengimpor beras lagi. Dan dalam jangka panjang, kedaulatan pangan (food sovereignity) kita juga terjamin karena tidak ada ketergantungan dengan bangsa lain seperti selama ini terjadi. Apalagi didukung oleh program pertanian organik yang gagas oleh Departemen Pertanian, akan makin mengokohkan posisi Indonesia untuk mengatasi persoalan pangan. Demikian juga dengan sektor perikanan. Permintaan yang besar terhadap produk perikanan harus dimanfaatkan secara optimal terutama untuk memenuhi pasar domestik. Selain itu menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah (value added) dari sektor ini. Di sektor kehutanan, walaupun disertai dengan pesimisme, patut diuji kebijakan pemerintah untuk menjamin adanya kepemilikan hutan rakyat yang dikelola secara adat. Pembalakan hutan yang merajalela sekarang ini telah mengikis tanah adat dan kerusakan lingkungan yang parah dapat direduksi bertahap secara siginifikan.

Wawan Fahrudin, Peneliti Institute for Global Justice