Penyelesaian Kemiskinan ala Neoliberal
10 Mei 2005, Media Indonesia
KEMISKINAN masih menjadi masalah pelik yang belum terurai secara tuntas. Masih segar dalam ingatan kolektif kita ancaman kelaparan di Kabupaten Lembata, NTT, pertengahan Maret 2005. Potret kemiskinan kembali terpapar melalui percobaan bunuh diri seorang siswa karena tidak mampu membayar SPP, dan seorang kakak yang berupaya mengakhiri hidupnya karena tidak mampu menanggung biaya sekolah adik-adiknya.
Fakta tersebut makin mengukuhkan bahwa ada kesalahan struktural dalam menempatkan rel pembangunan kita sehingga persoalan pemberantasan kemiskinan yang seharusnya menjadi prioritas justru menunjukkan setback setara dengan dua dasawarsa ke belakang.
Peta kemiskinan tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun hampir sebagian besar negara yang terbentang dari Asia hingga Afrika, atau sering kali disebut dengan negara Dunia Ketiga. Secara umum, potret dunia sekarang ini masih didominasi oleh kemiskinan struktural, kelaparan, penyakit, utang luar negeri, kerusakan lingkungan.
Solusi yang ditawarkan adalah dengan menghimpun dana dari negara-negara kaya melalui penyisihan 50 sen dari tiap 100 dolar pendapatannya untuk membantu warga dunia paling miskin.
Melihat kemiskinan yang masih menjadi momok dalam milenium ke-2 peradaban manusia ini patut menjadi perhatian dunia untuk memberantasnya. Oleh karena itulah, dibutuhkan moral duty dari negara-negara kaya untuk bersama-sama mendukung program PBB tersebut dengan langkah-langkah konkret agar tidak hanya sekadar utopia.
Kemiskinan bukan hanya terkait dengan per individu, namun secara menyeluruh merupakan masalah kelembagaan. Masalah struktural yang terlingkup di dalam masyarakat miskin, antara lain ketidakadilan penguasaan alat produksi, terutama tanah, kualitas SDM, subsidi, akses memperoleh kredit, dan ketidakadilan pasar.
Sementara itu, mengacu pada sistem neoliberal yang direpresentasikan oleh IMF, World Bank, dan WTO senantiasa menawarkan formula restrukturisasi, privatisasi, kenaikan tarif utilitas publik, liberalisasi dan lain-lain yang notabene jauh dari berpihak pada upaya penanggulangan kemiskinan.
Logika-logika neoliberal yang bertumpu pada liberalisasi dengan logika efisiensi dan efektivitas masih menjadi jurus utama pemberantasan kemiskinan. Padahal pengalaman selama tiga dasawarsa lebih telah menunjukkan bahwa semenjak ekonomi Indonesia terintegrasi ke pasar internasional, dan diiringi derasnya utang luar negeri, tidak sedikit pun mengurangi kemiskinan.
Ekonom-ekonom neoliberal yang selalu berpatokan pada angka kuantitatif secara meyakinkan menunjukkan angka-angka pertumbuhan ekonomi yang diyakini dapat menggambarkan volume industri dan perdagangan. Kenyataannya, meskipun angka-angka kuantitatif pertumbuhan ekonomi menunjukkan kemajuan, kelaparan meluas, kualitas kesehatan penduduk semakin rendah, dan angka kemiskinan semakin membengkak. Jadi, mimpi indah globalisasi akan membawa masyarakat miskin (khususnya Dunia Ketiga) ke arah kemakmuran, justru sebaliknya, kondisi kekurangan pangan, perumahan, dan kondisi kesehatan yang buruk menjadi realitas kehidupan sehari-hari.
Walaupun Indonesia sudah menandatangani Millennium Development Goal yang mengharuskan adanya penyiapan strategi pengentasan kemiskinan nasional, program yang dijalankan ternyata tidak pernah efektif dan tidak berkelanjutan. Penyebabnya tidak lain adalah pemberantasan kemiskinan hanya dilihat secara parsial, dari gejalanya, bukan akar permasalahan dan sebab-musababnya. Misalnya saja, program raskin (beras untuk masyarakat miskin) yang diberikan kepada masyarakat yang terkategori miskin. Perbaikan gedung sekolah untuk mengatasi persoalan pendidikan. Semua formula tersebut hanya memoles permukaan persoalan agar kelihatan bagus, namun tidak menyelesaikan persoalan sama sekali.
Sepanjang struktur ekonomi global masih tetap sepenuhnya dikendalikan kelompok negara kaya dan institusi-institusi pembangunan global, akan cenderung melegitimasi dan melestarikan struktur yang ada, kemajuan dan penyesuaian apa pun yang dicapai tidak akan banyak membantu dalam memberantas kemiskinan. Martin Khor (The Future of North-South Relations, Conflict or Cooperation, Third World Network 1992) menyatakan bahwa kemiskinan yang menimpa Dunia Ketiga tidak lepas dari pola hubungan negara Utara-Selatan yang sifatnya eksploitatif.
Dalam konteks multilateral, di dalam setiap agreement WTO, selalu didominasi oleh kepentingan negara maju. Sebut saja misalnya, isu pertanian yang tercakup dalam AoA (Agreement of Agricultural) yang berpotensi menyebabkan kerentanan bagi kerawanan pangan di tingkat global. Selain itu, WTO sendiri secara kelembagaan, sudah sangat meluas wewenangnya melintasi aspek perdagangan yang menjadi ranahnya. Sebagaimana terlihat dalam agreement TRIPs (Trade Related Intelectual Property Right) hanya membuat dominasi atas negara maju makin menguat. Ketentuan-ketentuan dalam TRIPs telah mengancam keanekaragaman hayati yang direduksir dalam skema-skema perdagangan yang tidak adil, sekaligus merusak bumi, dan ujungnya adalah pemiskinan global.
Sudah saatnya kita kembali berpikir untuk memaksimalkan sumber daya domestik. Dalam bidang pertanian kita memiliki keunggulan alamiah melalui pengembangan produk organik. Hanya saja, potensi tersebut belum dioptimalkan secara penuh walaupun pemerintah (Departemen Pertanian) telah mencanang Go Organic.
Momentum ini harus digunakan untuk mengembalikan kejayaan pertanian sekaligus menjaga kedaulatan pangan kita. Independensi ekonomi dengan optimalisasi sumber daya domestik dapat menjadi alternatif untuk melepaskan diri dari skema-skema global yang sudah terbukti tidak efektif. Pembangunan berbasis masyarakat dapat dijadikan alternatif pemecahan kemiskinan. Mengutip pendapat HS Dillon bahwa sudah saatnya kebijakan yang diambil, kelembagaan yang dibangun, teknologi yang dirakit, maupun yang dialihkan mesti didorong oleh kebutuhan dan kemampuan masyarakat.
Pola charity yang sering kali digunakan ekonom neoliberal dan diadopsi pemerintah sudah layaknya ditinggalkan. Masyarakat seharusnya diarahkan untuk mengembangkan kapasitasnya secara mandiri untuk mencapai kesejahteraan secara penuh. Mengembalikan kearifan lokal adalah pilihan tepat. Ketergantungan ekonomi dengan pasar internasional ternyata makin memiskinkan bukan memberikan solusi kesejahteraan. Bahkan akibat lebih jauh adalah telah merusak kearifan dan keanekaragaman adat. Masyarakat adat yang biasanya sudah memiliki mekanisme dalam mempertahankan diri, termasuk dalam menghindari kerawanan pangan menjadi tidak berdaya. Justru yang tercipta kemudian adalah ekonomi ketergantungan. Kemandirian ekonomi makin terkikis karena kita seluruhnya bergantung dari dinamika internasional yang kita ketahui bersama sangat rentan.***
Wawan Fahrudin, peneliti Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta